Oleh : Ayik Heriansyah
Akhir-akhir ini ada kekhawatiran NU mengarah ke “kanan.” NU sekarang nganan. Dengan alasan, PKB yang lahir dari rahim NU berkoalisi dengan PKS yang lahir dari rahim Ikhwanul Muslimin. Koalisi PKB-PKS mengusung Anies-Cak Imin di Pilpres 2024 merupakan klimaks dari koalisi-koalisi kedua partai di tingkat Pilkada.
Lalu disimpulkan, NU tidak lagi resisten terhadap Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan kelompok radikal. NU tidak lagi moderat. Meskipun kesimpulan demikian belum tentu benar, tapi dapat dimaklumi.
Alasan kedua, berdasarkan hasil survei, 64 persen masyarakat muslim di Indonesia menyatakan kesetujuannya pada syariat Islam sebagai hukum negara. Survei ini didapat dari lembaga survei Pew Research Center di kawasan Asia Tenggara.
Lalu dikait-kaitkan dengan hasil survei LSI. Menurut survei LSI, mereka yang merasa menjadi bagian dari NU pada 2023 sebesar 56,9%.
Sehingga disimpulkan mayoritas responden yang setuju syariat Islam adalah warga NU. Lagi-lagi kesimpulan ini belum tentu benar, namun dapat dimaklumi.
Istilah “kanan kiri” lazim digunakan oleh pemerintah untuk memetakan orientasi ideologi masyarakat. “Kanan” artinya Islamis. “Kiri” artinya Komunis. Pemerintah seolah-seolah berada di tengah tanpa ideologi. Padahal kenyataannya yang “tengah” adalah kapitalis berkedok Pancasila.
Istilah “kanan kiri” warisan Orde Baru yang sudah tidak cocok lagi digunakan. Selain sangat umum, istilah ini juga buram ketika melihat dinamika orientasi ideologi masyarakat 25 tahun pasca Orde Baru. Pemerintah perlu menciptakan istilah baru.
Sebagai contoh. Salah satu indikator “kanan” adalah pro penerapan syariat Islam oleh negara. Setidaknya ada tiga varian yang lahir dari indikator “kanan” ini.
Pertama, “kanan dalam.” Yaitu, penerapan syariat Islam sebatas substansi berupa penanaman adab dan akhlak aparatur pemerintahan serta memasukkan nilai-nilai maqashid syariah ke dalam aturan perundang-undangan, program dan kegiatan pemerintah.
Kedua, “kanan tengah.” Yaitu, penerapan syariat Islam substansi dan legal formal secara bersamaan. Selain menanamkan adab dan akhlak kepada aparatur pemerintahan, pemerintah juga secara legal formal merujuk kepada sumber-sumber ajaran Islam dan menjadikannya dasar hukum dalam menjalani pemerintahan tanpa perlu mengubah empat pilar negara Indonesia yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Ketiga, “kanan luar.” Yaitu, penerapan syariat Islam secara total dengan cara membentuk negara baru (Khilafah) dengan menghilangkan empat pilar negara Indonesia yang berarti menghapus Indonesia dari peta dunia.
Dari ketiga varian di atas, menurut saya, NU masih berada di “kanan dalam” dan sebagian di “kanan tengah.” NU tetap islamis, karena semua muassis NU beragama Islam. Mereka tidak ada yang beragama Kristen. Akan tetapi NU juga tidak mungkin menjadi “kanan luar”, karena para muassis selain mendirikan NU, mereka juga turut serta mendirikan NKRI.
Sumber:
https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6929668/survei-64-muslim-indonesia-setuju-syariat-islam-jadi-hukum-negara
https://nasional.sindonews.com/read/1193773/15/survei-denny-ja-pendukung-nahdlatul-ulama-naik-drastis-1693901380