Sungai Utik – Untuk pertama kalinya, King of Borneo (KOB) dan Tuan Tigabelas berkolaborasi dalam lagu terbaru mereka berjudul “Suar” yang dibawakan pada acara musik “Berdendang di Betang.” Acara ini digelar di rumah panjang (Betang) Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, pada 5 November 2024, dan dihadiri langsung oleh Masyarakat Adat Dayak Iban.
Kolaborasi antara King of Borneo, musisi dari Kapuas Hulu, Kalimantan Barat dan Tuan Tigabelas, rapper nasional dengan gaya khasnya, merupakan bentuk solidaritas mereka terhadap perjuangan Masyarakat Adat. Keduanya menyuarakan pentingnya perlindungan hak ulayat dan pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat serta kelestarian lingkungan.
“Kolaborasi karya ini adalah upaya kami untuk menyuarakan perjuangan Masyarakat Adat menjadi bagian dari pop culture yang bisa dinikmati oleh lebih banyak orang,” kata Upi, sapaan akrab Tuan Tigabelas. “Masyarakat Adat telah berjuang untuk hak-hak mereka selama puluhan tahun. Melalui karya musik, kami berharap dapat menggerakkan publik untuk bersama menyuarakan pentingnya pengesahan UU Masyarakat Adat,” tambahnya.
Masyarakat Adat memegang peran penting dalam menjaga bumi dari krisis iklim. Dari zaman ke zaman mereka sudah memiliki resep untuk bumi, mulai dari perlindungan hutan, pengelolaan hutan secara berkelanjutan, sekaligus pemuliaan pangan lokal.
“Kami percaya tanah adalah ibu kami, hutan adalah bapak kami, dan sungai adalah darah kami. Kepercayaan itulah yang membawa kami untuk terus melestarikan alam dari ancaman industri ekstraktif,“ tutur Raymundus Remang, Kepala Desa Sungai Utik, saat membuka acara Berdendang di Betang. Ia berharap semakin banyak seniman dan berbagai kalangan turut menyuarakan pentingnya UU Masyarakat Adat agar Masyarakat Adat di seluruh nusantara bisa berdaulat, mandiri, dan bermartabat di tanahnya sendiri.
Aday, gitaris King of Borneo, mengungkapkan antusiasmenya, “Kolaborasi karya ini adalah mimpi yang jadi nyata. Musik kami, termasuk karya kolaborasi “Suar” terinspirasi dari Masyarakat Adat yang selalu menjaga dan melestarikan alam. Oleh karena itu kami membawakan karya kami untuk kali perdana di depan sumber inspirasi kami. Sayangnya, resep perlindungan alam oleh Masyarakat Adat belum diakui oleh pemerintah. “Meski telah terbukti berhasil melestarikan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati selama bertahun-tahun, banyak kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada Masyarakat Adat dan justru menyingkirkan masyarakat dari ruang hidupnya,” tambahnya.
Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir, telah terjadi 687 konflik agraria di wilayah adat. Ketiadaan UU Masyarakat Adat menyebabkan lebih dari 11,7 juta hektar wilayah adat diambil alih dengan dalih Proyek Strategis Nasional (PSN).
Aday menambahkan, bahwa proses kreatif yang mereka lalui tak terlepas dari dukungan Merapah Banua, sebuah gerakan kolektif penyelamatan alam dan budaya untuk masa depan yang berkelanjutan yang digagas MADANI Berkelanjutan dan Putussibau Art Community.
Trias Fetra, mewakili Merapah Banua, mengisahkan proses kreatif yang telah dilakukan. “Proses ini adalah hasil dari kolaborasi mendalam dan penuh komitmen. Sesuai misi kami untuk mencari keseimbangan antara manusia dan alam. Kami telah mengadakan lebih dari selusin pertemuan, berdiskusi, bertukar ide, dan menemukan cara terbaik untuk menghidupkan karya bersama yang bukan hanya menyuarakan pesan, tetapi juga menggerakkan hati banyak orang untuk lebih peduli terhadap aksi penyelamatan hutan dan hak-hak Masyarakat Adat, yang sampai saat ini masih digantung nasibnya karena belum disahkannya UU Masyarakat Adat,” jelas Trias.
Sebagai bagian dari upaya menyuarakan isu penting ini, single “Suar” karya King of Borneo dan Tuan Tigabelas akan segera dirilis ke publik dalam bentuk audio dan video klip.