Jakarta – Ramai-ramai berbagai Politisi dan pengamat mengkritik dan ngerujak sikap PDI Perjuangan (PDIP) yang mencla-mencle dan berperan playing victim soal kenaikan PPN 12 persen.
Diantaranya, Politisi Partai Gerindra, Sumail Abdullah, meminta PDI Perjuangan (PDIP) untuk berhenti memainkan peran sebagai korban atau playing victim terkait kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%.
Sumail, yang juga menjabat sebagai Kapoksi Baleg DPR, menegaskan bahwa wacana kenaikan PPN pada tahun 2021 merupakan inisiatif dari PDIP ketika partai tersebut memegang kendali sebagai partai penguasa.
“Jadi ya kalau menurut saya, PDIP gak usah playing victim karena memang sejak awal bergulirnya wacana menaikkan PPN pada 2021 inikan diinisiasi oleh mereka (PDIP) sebagai partai penguasa saat itu,” kata Sumail, hari ini.
Ia juga menambahkan bahwa PDIP seolah-olah lupa atau mendadak amnesia terkait dengan kebijakan yang kini menjadi sorotan.
“Untuk itu ini mereka seolah mendadak amnesia soal kebijakan PPN 12%,” sambungnya.
Menurut Sumail, PDIP tidak seharusnya “cuci tangan” terhadap kebijakan tersebut. Ia menilai tindakan PDIP yang mencoba melepaskan tanggung jawab justru menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat.
“Ya seolah sekarang mereka (PDIP) ingin cuci tangan, ini agak aneh kalau menurut saya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra tersebut mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang mengambil pendekatan berkeadilan dalam menjalankan kebijakan kenaikan PPN. Ia menilai kebijakan Prabowo tidak membebani masyarakat kelas menengah ke bawah, tetapi lebih difokuskan untuk menarik pajak dari barang-barang mewah.
“Saya mengapresiasi langkah berkeadilan yang diambil Presiden Prabowo dalam menjalankan perintah undang-undang terkait kenaikan PPN ini, dengan tidak membebankannya pada masyarakat menengah ke bawah namun memanfaatkan kenaikan PPN tersebut untuk menarik pajak terhadap produk-produk mewah,” pungkasnya.
Selanjutnya, Ketua DPP PPP, Thobahul Aftoni yang menuding PDIP bak menjilat ludahnya sendiri karena inkonsisten. Dia mengatakan, pihak-pihak yang mempermasalahkan tersebut inkonsisten. Dalam hal ini, pihak yang pernah menyetujui bahkan menjadi Ketua Panja Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
“Terkait dengan polemik PPN 12 persen yang diatur dalam UU HPP sebenarnya sudah jelas diputuskan dalam Rapat Paripurna tanggal 7 Oktober 2021 yang disetujui oleh mayoritas fraksi di DPR termasuk PDIP. Bahkan ketua Panja RUU HPP dari Fraksi PDIP,” kata Afthoni.
Afthoni menyebut bahwa PDIP seharusnya konsisten dengan keputusan yang sudah dibuat bersama terkait UU HPN. Apalagi saat itu PDIP adalah fraksi terbesar sekaligus terdepan dalam menyetujui kenaikan PPN tersebut.
“Maka kalau sekarang masih mempersoalkan, itu sama halnya dengan menjilat ludah sendiri. Yang terpenting hari ini sudah ada kebijakan dari Presiden Prabowo Subianto bahwa PPN 12 persen hanya diberlakukan untuk barang mewah. Praktik politik lempar batu sembunyi tangan tak elok dan hanya membuat kegaduhan,” papar Afthoni.
Berikutnya, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI M Hanif Dhakiri meminta semua pihak, terutama PDIP yang sebelumnya telah menyetujui UU HPP, untuk konsisten dan adil dalam memberikan informasi serta penjelasan kepada masyarakat.
“Jangan ada yang memanfaatkan isu PPN 12% ini sebagai alat menyerang Presiden Prabowo. Faktanya, Presiden Prabowo berada dalam posisi harus melaksanakan undang-undang yang diwarisi dari pemerintahan sebelumnya,” tegasnya.
Dia menegaskan bahwa rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025 adalah amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang telah disahkan pada 7 Oktober 2021 oleh pemerintahan dan DPR periode 2019-2024.
“Presiden Prabowo menunjukkan kepedulian yang nyata terhadap rakyat dengan memastikan kebijakan ini tidak menekan daya beli masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah,” ujar anggota Fraksi PKB DPR RI ini.
Sementara itu, Direktur Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan, menyatakan PDIP harus berhati-hati membuat pernyataan.
“Sebabnya, pernyataan Dolfie tersebut dapat memicu instabilitas politik. Pernyataan seperti itu terang benderang memprovokasi rakyat, seolah-olah pemerintahan Prabowo tidak mendengar aspirasi masyarakat,” katanya.
Menurut dia, kerangka APBN yang disahkan DPR RI pada bulan September lalu telah memasukkan proyeksi penerimaan pajak, termasuk komponen PPN. Pada saat penyusunan APBN 2025 dan pembuatan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan 2021, PDIP merupakan motor utama, di mana PDIP adalah partai penguasa dan ketua Bangar di DPR.
“Sebaliknya, jika rakyat terus menerus diprovokasi oleh elit-elit PDIP, kemungkinan akan terjadi instabilitas politik. Sebab, isu kenaikan pajak adalah salah satu pemicu kemarahan rakyat,” terangnya.
Syahganda selanjutnya menyarankan agar PDIP meminta maaf kepada rakyat karena selama berkuasa mereka telah menaikkan PPN dari 10% sejak tahun 1983 ke 11% tahun 2022 dan sekarang ke angka 12%. Disamping itu, DPR harus mendukung upaya-upaya pemerintah mencari alternatif pembiayaan pembangunan, seperti mendorong agar pengembalian uang-uang korupsi selama era PDIP dan Jokowi berkuasa, seperti pidato Prabowo di Mesir seminggu lalu, dapat terwujud.
“Jika uang-uang koruptor dikembalikan, maka pajak PPN bisa saja diturunkan serendah-rendahnya,” pungkasnya.