JAKARTA—Antonius Benny Susetyo, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan budayawan, menyampaikan pesan kepada masyarakat terkait predikat ‘sultan’ yang marak diberikan, dalam acara bincang dengan Devie Rahmawati (peneliti sosial dari Universitas Indonesia) yang dipandu oleh Arbida Nila, dengan tajuk “Kok Bisa? Bukan Darah Biru Jadi Sultan??!” yang disiarkan di kanal Youtube RKN Media pada tanggal 27 Februari 2022.
Benny, sapaan akrab dari Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP tersebut, menyampaikan bahwa gelar sultan pada awalnya diberikan kepada para pihak yang memiliki silsilah kebangsawanan dan terbukti memiliki kemampuan memimpin dan berwibawa.
“Sekarang terjadi pergesaran; orang yang populer, langsung diberi gelar sultan, padahal tidak ada kaitannya dengan (keluarga) sultan,” lanjutnya.
Menurutnya, masyarakat saat ini mudah terkecoh dengan penampilan yang ditampilkan di media sosial.
“Orang-orang ini mengecoh panca indra publik. Publik mengikuti gaya hidupnya, padahal tidak sesuai pemasukan mereka. Publik mengikuti padahal belum tahu apakah cara tersebut diizinkan atau tidak oleh pemerintah,” ujarnya.
Dengan adanya fenomena ini, Benny melanjutkan, orang tidak melihat realitas dan cenderung mengambil jalan instan untuk meraih pencapaian yang ditunjukkan pada figur publik yang terlihat di media sosial.
Devi Rahmawati menambahkan bahwa sesungguhnya, mentalitas mengikuti ‘pemimpin’ adalah hal yang lumrah terjadi di negara-negara bagian timur, termasuk Indonesia.
“Ada pemimpin, ada pengikut. Ibarat seperti kereta, ada lokomotif, ada gerbong. Hal ini tidak melulu buruk. Contohnya, saat pemimpin di Indonesia menyerukan pemakaian masker, banyak masyarakat mengikuti dan mematuhi seruan tersebut,” ujarnya.
Namun begitu, Devi menyebutkan kekurangan yang terjadi di masyarakat.
“Masyarakat kurang melakukan crosscheck. Tidak ada check and re-check setelah menerima informasi, baik visual maupun audio.”
Devi pun menyebutkan, masyarakat Indonesia mengalami suatu keadaan shock digital, dimana masyarakat ‘dipaksa’ hidup berdampingan erat dengan dunia digital karena pandemi COVID-19.
Dalam kesempatan ini, Devi menyerukan bahwa masyarakat, dalam menggunakan sosial media, harus tetap kritis dan ‘kepo’ dalam mencari tahu informasi atas hal-hal yang disajikan.
“Kita boleh iri dan menginginkan pencapaian seperti yang terlihat di media sosial, tetapi harus kita cek dahulu, bagaimana perjuangannya, kerja kerasnya, serta cerita hidupnya, sehingga (figur) bisa mencapai pencapaian yang dia perlihatkan di media sosial. Ingat CINTA: Curiga, Iri untuk mendongkrak motivasi, Nanya dahulu, Terus Belajar, dan penutupnya sesuai dengan akhir yang diinginkan,” tutup Devi.
Benny pun menyerukan agar masyarakat Indonesia kritis dan jeli dalam melihat figur-figur tersebut.
“Kita lihat rekam jejak mereka, siapa orangnya, dan melihat kepada hal yang berdasarkan data dan informasi serta fakta yang akurat. Jangan karena terkenal saja, langsung diikuti. Hati-hati, hanya dengan waspada kita tidak tergelincir ke manipulasi dunia media,” ujarnya.
“Kita harus menjadi komunitasi pemutus kata, bukan pengiya kata. Komunitasi pemutus kata itu selalu kritis, melakukan pemeriksaan berdasarkan fakta-fakta yang ada. Jangan jadi pengiya kata, yang hanya meneruskan tanpa melakukan filter,” tutup Benny.