Oleh: Abdul Ghopur
Selain 1 Juni, 1 Oktober juga hari diperingatinya Pancasila sebagai hari nasional. Dan, hari ini adalah ke 57 kalinya kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Seperti kita ketahui, sejarah Hari Kesaktian Pancasila bermula dari peristiwa penculikan dan pembunuhan enam (6) Jenderal Angkatan Darat (AD) dan satu perwira tinggi serta beberapa orang lainnya. Peristiwa ini dianggap sebagai upaya kudeta dan usaha mengubah Pancasila dengan unsur ideologi lain. Namun demikian, usaha ini gagal. Akan tetapi peristiwa berdarah ini telah menyisakan begitu banyak luka bersayat dan pilu pada para keluarga korban dan bangsa ini. Juga termasuk keturunan pelaku peristiwa tersebut yang sama sekali tidak tahu-menahu yang dituduh atau dikaitkan atas peristiwa itu. Sebab, selama puluhan tahun stigmatisasi terhadap jutaan orang yang dianggap PKI atau dianggap berafiliasi dengan PKI dibunuh dan dideskriditkan serta didiskriminasi, kendati mereka tidak mengetahui sama sekali apalagi terlibat dalam operasi Gerakan 30 September 1965. Peristiwa berdarah ini yang kita kenal sebagai G30S atau G30S/PKI.
Ada yang menarik dari penamaan peristiwa ini, pada masa Orde Baru (ORBA) atau Orde Soeharto berkuasa, untuk penamaan tragedi berdarah itu, Soeharto menyebutnya sebagai Gerakan 30 September/PKI atau G30S/PKI (baca: Partai Komunis Indonesia). Istilah G30S/PKI ditetapkan oleh Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967. G30S atau G30S/PKI merupakan operasi penculikan yang disertai pembunuhan para perwira tinggi AD yang terjadi pada 1 Oktober 1965 dini hari. Nah, kalau terjadinya pada 1 Oktober, mengapa namanya Gerakan 30 September? Di sisi lain, apa juga arti Gestapu dan Gestok?
Sebagaimana ulasan KOMPAS.com yang terbit tanggal 30 September 2021, operasi G30S konon diinisiasi oleh Resimen Tjakrabirawa (satuan tentara pengamanan presiden) yang menerima informasi bahwa ada sekelompok jenderal yang disebut Dewan Jenderal yang ingin meng-kudeta Presiden Soekarno. Disebutkan dalam ulasannya, Resimen Tjakrabirawa bersama beberapa petinggi PKI berencana menghadapkan para jenderal itu ke hadapan Presiden Soekarno. Rencana yang semula sederhana ini malah berubah menjadi malapetaka berdarah. Para perwira tinggi AD itu diculik dan dibunuh.
Masih menurut ulasan KOMPAS.com, operasi yang terjadi pada 1 Oktober dini hari itu oleh Komandan Batalyon I Resimen Tjakrabirawa Letkol (Inf) Untung Samsoeri, bersaksi bahwa operasi tersebut awalnya diberi nama Takari. Namun, nama operasi ini diganti menjadi G30S karena nama Takari dianggap terlalu berbau militer. Pertanyaannya sekali lagi, kenapa operasi yang terjadi pada 1 Oktober dini hari kok dinamai G30S? Jawabannya, karena operasi tersebut dipersiapkan pada 30 September sore hari, dan dilangsungkan pada 1 Oktober dini hari (konon, untuk persiapan yang lebih matang).
Di sisi lain, Brigjen RH Sugandhi (pada waktu itu menjabat Kepala Penerangan Staf Angkatan Bersenjata dan juga pimpinan harian Angkatan Bersenjata) menamai operasi tersebut dengan istilah Gestapu (singkatan dari Gerakan September Tiga Puluh). Brigjen RH Sugandhi terinpirasi dari polisi rahasia bentukan Nazi Jerman yang bernama Gestapo (singkatan dari Geheime Staatspolizei). Polisi rahasia yang melakukan pembantaian massal orang-orang Yahudi di Eropa saat perang dunia (PD) ke II. Jadi, Gestapu itu plesetan dari Gestapo. Sedangkan Gestok adalah singkatan dari Gerakan Satu Oktober. Istilah ini lebih dipilih oleh Presiden Soekarno karena alasan terjadinya operasi itu pada 1 Oktober dini hari. Hal ini diusulkan secara langsung oleh Presiden Soekarno pada 9 Oktober 1965 di sidang kabinet pertama setelah peristiwa G30S. Penggunaan istilah Gestok juga untuk mengganti istilah Gestapu yang identik dengan Nazi Jerman.
Syahdan, ketiga istilah peristiwa kelabu itu “dimungkinkan” (dalam tanda kutip) mempunyai makna dan narasi politiknya masing-masing. Tak banyak dari kita yang benar-benar mengetahui makna tersembunyi yang terkandung di baliknya, bahkan para peneliti dan orang-orang yang hidup se-zaman dengan peristiwa kelam itu. Namun, yang ingin saya bahas bukanlah terkait peristiwa tersebut, melainkan pemaknaan “kesaktian” Pancasila. Menukil kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kata “sakti” artinya mampu (kuasa) berbuat sesuatu yang melampaui kodrat alam, mempunyai kesaktian; bertuah dan keramat.
Sehingga secara sederhana, dapat dimaknai kesaktian Pancasila adalah merupakan suatu sikap, jiwa dan pandangan yang menegaskan, hanya Pancasila sajalah yang mampu menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, karena memiliki potensi yang sangat kokoh sebagai pemersatu rakyat Indonesia yang majemuk. Sebab, Pancasila adalah nilai-nilai yang sangat luhur. Dus, semua itu sangat bergantung pada kesepakatan dan kemauan segenap individu dan komponen bangsa untuk menghayati serta mengamalkan nilai-nilai adiluhung yang terkandung dalam Pancasila secara konsisten dan konsekuen, dalam pelbagai aspek dan lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sayangnya, pasca runtuhnya ORBA muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar negara itu seolah ikut tumbang dan sirna tanpa bekas. Membincangkan Pancasila menjadi sesuatu yang menjemukan dan “memuakkan,” karena hampir selalu identik dengan rezim ORBA. Agaknya ada semacam trauma mendasar terhadap perlakuan eksesif akan Pancasila. Mengapa demikian? Sebab, Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Pancasila dijadikan ideologi yang komprehensif yang mengatur pelbagai lini kehidupan masyarakat. Negara (ORBA) menjadi maha tau apa yang baik dan apa yang buruk buat masyarakat. Nilai-nilai itu selalu disematkan di benak masyarakat melalui indoktrinasi, yaitu melalui penerapan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Yaitu ”pemasyarakatan Pancasila” demi menjaga dan menjalankan Pancasila secara murni dan konskuen. Semua warga negara diajar untuk memahami, mengahayati, dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang salah sama-sekali dengan itu (nothing wrong at all) sebenarnya. Yang salah adalah, di sisi lain, prilaku penguasa ORBA pada waktu itu menunjukkan arah yang tidak seirama. Bahkan sebaliknya bertentangan dengan nilai dan semangat yang terkandung di dalam Pancasila melalui P4-nya itu.
Atas perlakuan semacam itu, Pancasila mau tidak mau senantiasa berbenturan dengan nilai-nilai/norma maupun ideologi yang hidup di tengah masyarakat seperti adat-istiadat, aliran kepercayaan, agama, tak ayal pula dengan paham-paham ideologi dunia seperti sosialisme, komunisme, liberalisme dan kapitalisme. Parahnya, benturan tersebut tidak hanya terjadi di levelan ide, bahkan melebar menjadi gesekan sosial politik yang tak jarang berujung pada pertumpahan darah. Trauma itu sampai sekarang belum lenyap. Ketika reformasi bergulir, diskursus ideologi merosot cukup dalam. Masalah itu seolah tidak relevan untuk dibicarakan. Masalahnya boleh jadi karena kita ”capek” dengan ideologisasi Pancasila semasa ORBA yang praktis dimonopoli negara. Pancasila hanya menjadi hafalan rutin setiap Senin pagi di sekolah-sekolah, kantor-kantor pegawai negeri, dan lain lain. Pancasila menjadi hanya sebatas bukan komunisme dan kapitalisme atau diingatkan akan bahaya ekstrim kanan maupun kiri, dan sebagainya. Faktor lainnya adalah bubarnya Uni Soviet, negara yang dianggap sebagai biang dari ideologi komunisme. Lantas, buat apa memperbincangkan Pancasila jika yang ada saat ini hanya satu kekuatan, yakni ”ideologi” Barat, neoliberalisme, neokapitalisme dan neoimperialisme (nekolim).
Pertanyaannya, seberapa kokoh Pancasila bila diperhadapkan dengan ideologi Barat tersebut? Sejauh mana ketahanan ataupun ketangguhan Pancasila sebagai ideologi yang dianggap terlalu (dalam tanda kutip) ”absurd?” Dari sinilah perdebatan mengenai ideologi seakan menjadi sia-sia. Dus, kekuatan Barat tidak mungkin dilawan, apalagi oleh negara sedang berkembang seperti Indonesia yang sedang dilanda krisis yang cukup berat dan multidimensional. Disebut negara berkembang, ukurannya antara lain demokrasi kita masih ”belepotan.”
Namun demikian, diskursus tentang ideologi tidak bisa diabaikan begitu saja. Ketika bangsa ini tertatih-tatih dalam proses demokratisasi, konflik dan kekerasan yang muncul sewaktu-waktu, baru sembuh dari pandemi, restorasi Indonesia dari krisis yang tak kunjung menemui titik cerah, sulit (limbo) merumuskan masa depan, dan segunung masalah lainnya, kita kemudian menengok kembali pentingnya sebuah ideologi yang kokoh serta ”akomodatif.” Yang menjadi pertanyaannya kemudian, ideologi seperti apa dan bagaimana?
Di sinilah kita bersama mencoba menjawab secara komprehensif seluruh persoalan di atas. Kita ingin menjelaskan betapa pentingnya Pancasila menjadi ”kompas” dalam perjalanan berbangsa dan bernegara yang kian mengalami dekadensi moral dan distorsi. Kita ingin menjelaskan begitu pentingnya Pancasila dihadirkan kembali dalam ruang publik yang sarat kontaminasi oleh kepentingan kelompok, nilai, maupun idelogi-ideologi privat. Selama ini domain sistem nilai ataupun ideologi yang bersifat privat seperti agama, adat-istiadat maupun paham ideologi asing yang hidup di tengah masyarakat kini telah salah ”tempat.” Nilai serta norma ataupun ideologi privat itu telah memasuki ruang publik. Misalnya, pelaksanaan Perda Syariah di kota Tangerang dan tuntutan Perda Injil di Papua beberapa tahun silam. Nilai atau norma agama tersebut merupakan nilai yang dipercayai dan dimiliki oleh komunitas-komunitas tertentu dalam sebuah entitas yang bernama Indonesia. Nilai itu belum tentu dipercayai dan dimiliki oleh komunitas lain yang memiliki kepercayaan lain, yang menjadi bagian integral dari entitas bangsa Indonesia.
Dalam hal ini mari kita menggugah khalayak bahwa Pancasila masih sangat membutuhkan penyegaran pemahaman. Alasannya cukup jelas, perjalanan bangsa selama era Reformasi kerap mengalami disorientasi ketika dihadapkan dengan berbagai pilihan dan persoalan. Para pengambil kebijakan lebih memilih pertimbangan pragmatis jangka pendek ketimbang bersusah-payah mematangkan visi bangsa yang telah dimiliki. Selain itu, harus disadari pula bahwa pertarungan ideologi dunia masih belum berakhir. Paling tidak, faktor itu ikut memengaruhi pola pikir kita dalam merekonstruksi masa depan pembangunan bangsa. Misalnya, bagaimana proyeksi pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Coba perhatikan perdebatan sengit oleh sejumlah akademisi mengenai amandemen pasal 33 UUD 1945 beberapa waktu silam. Perdebatan yang tidak menghasilkan kesimpulan konklusif ini akhirnya menyisakan dua kutub gagasan: mereka yang pro-ekonomi pasar dan mereka yang mendukung gagasan ekonomi kerakyatan. Sayangnya, perdebatan tersebut tidak banyak bergaung dan menjadi perhatian serius publik. Perhatian sebagian besar publik dari berbagai kalangan lebih banyak tertumpah misalnya, pada isu pemilihan presiden beserta ambang batasnya ataupun perdebatan hubungan antara negara dan agama.
Lantas, bagaimana menyegarkan pemahaman kita terhadap Pancasila? Di sinilah kita bersama wajib memberikan sketsa gagasan bagaimana seharusnya norma-norma Pancasila dan konstitusi diterjemahkan. Bagaimana Pancasila diletakkan. Bercermin pada sejarah awal saat dirumuskannya, ideologi bangsa itu harus dipahami sebagai konsensus dasar atau kontrak sosial (gentlemen agreement) antara berbagai komunitas untuk mengikat diri menjadi satu bangsa, Indonesia. Pada perkembangannya kemudian, terutama paruh kedua tahun 1950-an, Pancasila seolah menjadi simbol kelompok nasionalis. Kelompok lain yang turut berperan merumuskan Pancasila, kelompok Islam misalnya, seolah tidak berhak memilikinya. Muaranya terletak pada friksi gagasan dalam Konstituante. Badan yang semula diamanatkan untuk merumuskan UUD yang definitif, malah menjadi ajang kontestasi ideologi sangat sengit antarpelbagai kelompok. Ada semacam ambisi untuk menyejajarkan Pancasila dengan ideologi besar dunia. Sebagaimana diketahui, badan itu akhirnya gagal menyusun konstitusi baru, dan akhirnya dibubarkan Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1945 yang didukung militer. Selanjutnya, Pancasila diambil alih negara.
Bahkan pada masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno memonopoli tafsir, dan meletakkannya sebagai ”benda keramat” seperti tercermin dalam kata-kata ”Pancasila adalah azimat.” Satu-satunya ideologi yang boleh hidup hanyalah Pancasila versi Soekarno yang dijabarkan dalam Manipol/Usdek. Sedangkan paham-paham lain harus menyingkir. Manipol/Usdek adalah singkatan dari Manifesto Politik (Manipol), [U]UD 1945, [S]osialisme ala Indonesia, [D]emokrasi Terpimpin, [E]konomi Terpimpin dan [K]epribadian Indonesia (USDEK). Gagasan Manipol Usdek dan penekanan Bahwa Pancasila adalah satu-satunya alat pemersatu atas berbagai persoalan bangsa jelas menunjukkan keinginan Soekarno meletakkan Pancasila sebagai sebuah idologi yang konklusif. Keinginan Soekarno itu sebagaimana tercermin dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1959 berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” dan pidato pada tanggal 17 Agustus 1960 berjudul ”Djalannja Revolusi Kita (Jarek).” Nah, Manipol dan Usdek merupakan inti materi dari dua pidato Soekarno tersebut.
Gagasan Manipol/Usdek itulah yang dipahami Soekarno sebagai tafsir terhadap Pancasila. Keduanya merupakan satu kesatuan. Sambil mengibaratkan posisi Al-Qur’an dan Hadits, Soekarno mangatakan:
”Qur’an dan Hadits shahih merupakan satu kesatuan, maka Pantjasila dan Manifesto Politik dan Usdek pun merupakan satu kesatuan.. Quran dijelaskan dengan Hadits, Pantjasila dijelaskan dengan Manifesto Politik serta intisarinja jang bernama USDEK.
Manifesto Politik adalah pemantjaran daripada Pantjasila! USDEK adalah pemantjaran daripada Pantjasila. Manifesto Politik, USDEK dan Pantjasila adalah terdjalin satu sama lain.”
Upaya Soekarno menjadikan Manipol/USDEK sebagai tafsir resmi menandai perubahan penting Pancasila menjadi ”ideologi negara” yang bersifat resmi, tunggal, dan hegemonik. Seluruh kekuatan masyarakat dikerahkan untuk mengenal dan ”mengamalkan” pengertian resmi itu sambil mengharamkan segala paham yang tidak bersesuaian dengannya.
Kecenderungan itupun berlanjut pada masa Orde Baru. Sekali lagi Pancasila diperlakukan seperti ”azimat” yang tidak boleh diganggu-gugat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kemurnian Pancasila dijaga dengan senjata sambil mengharamkan semua paham maupun tafsir di luar versi negara. Pancasila diperlakukan secara monopolistik sebagai ideologi yang komprehensif dan satu-satunya kebenaran. Pancasila pun dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Bahkan warga negara yang berusaha memberi tafsir berbeda akan dicap anti-Pancasila. Pancasila menjadi sesuatu yang amat ditakuti. akhirnya, kini ketika rezim berganti, Pancasila menjadi sangat kehilangan ruh serta elan vitalnya. Pancasila sebagai paradigma operasional mengalami devitalisasi karena tidak berhasil meneguhkan perannya sebagai perekat operasional (practical-glue) yang nyata.
Oleh sebab itu, penegasan bahwa sebagai ideologi yang belum ”absurd,” Pancasila membutuhkan kerangka kerja yang lebih lengkap untuk mengoperasionalisasikannya dalam kehidupan nyata. Pancasila harus menjadi referensi utama praksis negara, yang harus bisa membaca berbagai perubahan fenomenal yang dialami bangsa. Pancasila harus melakukan reverifikasi atas peran monolitiknya, sebagai instrumen persuasif bangsa. Dengan cara itu kita dapat mengontekstualisasikan Pancasila sesuai semangat zaman. Jika tidak demikian, Pancasila akan hanya menjadi ideologi buta huruf (illiterate-ideolgy), atau sekadar retorika buta (blind-rhetoric).
Untuk menguatkan hal itu, pemahaman terhadap Pancasila pada level infrastruktur politik juga harus mendalam. Artinya, kehidupan masyarakat keindonesiaan harus terus-menerus didorong untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila sebagai perekat bangsa. Untuk itu ada sebuah agenda penting, yakni bagaimana menumbuhkan semangat multikulturalisme yang bertumpu pada ketergantungan sebuah komunitas dengan komunitas lain. Kesadaran bahwa suatu komunitas tidak bisa hidup tanpa komunitas lainnya. Interdependensi itu mutlak dikembangkan agar tidak muncul superioritas kebudayaan satu dengan kebudayaan lain.
Atas persoalan di atas, kita perlu menegaskan lagi bahwa ketidak-arifan dalam memaknai dan meletakkan Pancasila dalam kadar proporsinya hanya akan membuat Pancasila menjadi kehilangan arti. Tetapi, sebaliknya usaha kita meyakinkan akan pentingnya bahkan semakin pentingnya Pancasila dewasa ini. Itulah pentingnya memahami secara komprehensif Pancasila dari awal dirumuskannya hingga perjalanannya melalui Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno, Orde Baru-nya Soeharto, sampai dengan era Reformasi saat ini. Tugas generasi hari ini dan mendatang adalah berusaha keras menjelasjabarkan pengertian Pancasila tidak hanya sebagai ideologi dan dasar negara, tetapi juga menjelaskan kaitan di antara Pancasila dengan agama, dan lain-lainnya. Yang terpenting adalah upaya mengembalikan ”citra” dan menemukan kembali ”kesaktian” Pancasila serta berusaha membuktikan pentingnya Pancasila bagi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini maupun di masa yang akan datang. Yang paling penting pula, tragedi berdarah semacam peristiwa 48’, 65’ dan kerusuhan 98’ jangan sampai terulang kembali, dan kita harus terus mengikis bahaya laten (tersembunyi) ideologi apa pun di luar Pancasila!
Referensi:
Asvi Warman Adam. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku Dan Peristiwa. Jakarta: Sinar Grafika. (seperti dikutip KOMPAS.com).
Staf Angkatan Bersendjata. 1965. 40 Hari Kegagalan ”G.30.S”. Jakarta: Pusat Sedjarah Angkatan Bersendjata. (sebagaimana dikutip KOMPAS.com).
Departemen Pendidikan Nasional. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
As’ad Said Ali. 2009. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: LP3ES.
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB);
Salah-satu Inisiator Kedai Ide Pancasila