banner 728x250

Dinilai Terlalu Aneh, Sofyan Tsauri Tolak Wacana Reposisi Polri & Tolak Penggunaan Dominus Litis di RKUHAP

  • Bagikan
banner 468x60

Jakarta – Mantan narapidana teroris (napiter) Muhammad Sofyan Tsauri menolak wacana reposisi Polri yang digaungkan oleh segelintir kelompok masyarakat, karena dinilai sangat aneh.

Kata Sofyan, upaya segelintir pihak yang ingin agar Polri tidak lagi dibawah Presiden namun dibawah lembaga tertentu itu menciderai semangat reformasi 98.

banner 336x280

“Ini pendapat atau statement yang sangat aneh sekali. Karena mencederai daripada semangat reformasi kita pada tahun 1998. Di antaranya menjadikan Indonesia sebagai negara yang menjunjung HAM, Negara yang menjunjung demokrasi,” tegas Sofyan Tsauri, hari ini.

Kata dia, bisa bayangkan bila lembaga Polri di bawah lembaga yang lain seperti TNI atau lembaga yang semi militer itu jelas mencederai semangat daripada reformasi.

“Supremasi sipil itu harus terdepan bukan militer. Apa kata dunia kalau kita kembali ke orde baru, dimana militer mendominasi dan ini akan mengancam HAM maupun demokrasi yang kita jalani selama dua dekade ini,” ujarnya.

Selain itu, Sofyan Tsauri juga menolak dominus litis pada RKUHAP dimana Kejaksaan justru menjadi lembaga super power dan Polri berpotensi dibawah Kejaksaan. Kata Sofyan, Polri justru harus diperkuat sebagaimana KPK, Kejaksaan, dan sebagainya agar nanti penegakan hukum bisa lebih independen.

“Karena kalau sampai di bawah institusi yang lain ini akan tidak jadi independen dan tidak objektif dalam penegakan hukum. Dan ini sangat-sangat mengancam demokrasi kita dan akan bisa memicu distabilitas,” ujarnya.

Selanjutnya, Sofyan Tsauri meminta kepada masyarakat untuk terus mendukung dan membantu institusi Kepolisian agar Polri bisa tetap dicintai masyarakat, bisa menjalankan tugas-tugasnya secara baik.

“Kenapa bisa demikian? Bayangkan kalau Kepolisian institusi yang kita cintai ini dirusak, nama baiknya. Kemudian kepada siapa kita mau mengadukan setiap permasalahan-permasalahan kita. Lebih baik kita dikuasai 80 tahun oleh polisi-polisi yang kita anggap kurang baik. Daripada satu malam nggak ada polisi. Artinya betapa posisi Polisi sangat penting. Perlu kita jaga juga dan kita juga perlu membangun kritikan yang sifatnya membangun bukan menjatuhkan. Mari kita jaga Polri untuk menjadi lebih baik lagi,” jelasnya.

Selanjutnya Sofyan Tsauri, menyoroti maraknya penyebaran hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) di media sosial yang kerap dikaitkan dengan kebijakan pemerintah atau institusi Polri.

Menurutnya, fenomena ini bukan hanya meresahkan, tetapi juga berpotensi memecah belah persatuan nasional.

“Sebelum undang-undang itu muncul ya, kayak undang-undang ITE dan sebagainya, kita dihujani secara masif ajaran-ajaran kebencian, berita-berita hoax yang tidak berdasarkan, dan kemudian setelah diverifikasi ternyata zonk dan ternyata itu hoax. Dan ini sangat berbahaya.,” ujar Sofyan.

Ia menegaskan bahwa kebohongan yang disebarkan secara masif lambat laun dapat dianggap sebagai kebenaran, terutama jika tidak ada tindakan tegas dari pemerintah.

Sofyan mengingatkan situasi pada tahun 2017, ketika Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis Indeks Potensi Radikalisme yang mencapai 55%. Saat itu, masyarakat Indonesia terpolarisasi menjadi dua kelompok, yang dikenal dengan istilah “cebong” dan “kampret”.

“Kita seperti berada di ambang perang saudara. Ini sangat berbahaya,” katanya.

Oleh karena itu, ia mendukung penegakan hukum terhadap ujaran kebencian di media sosial.

“Jika tidak, negara ini seperti negara tanpa hukum. Orang bebas membuli, mencaci maki, dan menyebarkan kebencian,” tambahnya.

Dampak Hoaks dan Hate Speech terhadap Kepercayaan Masyarakat

Sofyan juga memperingatkan dampak serius dari hoaks dan ujaran kebencian terhadap kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan Polri. Ia mencontohkan situasi di Suriah, yang mengalami perang saudara selama 13 tahun akibat provokasi dan ajaran kebencian.

“Kita tidak ingin Indonesia yang multikultural ini dikotori oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa Indonesia bisa menjadi negara gagal jika tidak mampu menertibkan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.

“Termasuk yang ada di Tunisia, kemudian yang ada di Mesir Lalu ada di Yaman, kemudian ada di Suriah sendiri Yang sampai sekarang menjadi negara yang antah-berantah, hancur karena peperangan. Makanya ini tidak boleh terjadi di negara kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.

Sofyan menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam menindak tegas penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.

“Kita dituntut untuk cerdas di dalam bersosial media agar orang-orang yang suka namimah, mengadu domba, mengagitasi seruan provokatif,” pungkasnya.

Dengan meningkatnya kasus hoaks dan ujaran kebencian di media sosial, upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan institusi penegak hukum seperti Polri dinilai sangat penting untuk menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.

banner 336x280
banner 120x600
  • Bagikan
Close