banner 728x250

Paradoks Ojol Indonesia dan Solusinya

  • Bagikan
banner 468x60

Oleh : Lukman Hakim

“Bekerja tapi bukan pekerja, berkarya tapi bukan karyawan”

banner 336x280

Status kemitraan tidak adil dan timpang karena aplikasi membuat kebijakan sepihak yang harus ditaati oleh mitra driver ojol. Demikian juga terkait profit sharing yang timpang ojol sebagai core penggerak bisnis aplikasi dalam posisi marjinal karena hanya mendapatkan penghasilan dari tarif yang dibagi (dipotong)– fare sharing.

Benefit sharingnya juga timpang, ojol tidak mendapatkan benefit jaminan sosial, jaminan penghidupan yang layak, termasuk THR yang semestinya menjadi tanggungjawab aplikasi, beda perlakuan dengan pekerja di kantor aplikator.

Aplikasi tidak mempunyai standar servis of exelent yang berbasis pada kompetensi khusus driver, driver ojol sebagai manusia hanya dihargai sebatas tarif. Kode etik bukan berbasis kompetensi yang perlu dihargai, tapi justru hanya menjadi kewajiban yang berkonsekuenasi sanksi bagi ojol sebagai mitra jika tidak sesuai.

Status kemitraan hanya menjadi strategi untuk menghindari tanggungjawab yang lebih, ditengah gamangnya negara memberi perlindungan regulasi yang pasti. Sudah satu dekade keberadaan ojol tanpa regulasi yang jelas. Situasi ini tidak mencerminkan praktik usaha/ekonomi Pancasila.

Antara kemitraan dan Status karyawan

Dalam aktifitas bisnis “transportasi online” nyatanya memang ada tiga unsur hubungan kerja yaitu pekerjaan, upah dan perintah. Ketiga unsur ini merupakan syarat adanya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Jadi pekerjaan, upah dan perintah adalah unsur yang harus ada dalam hubungan kerja.

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh yang didasarkan pada perjanjian kerja. Hubungan kerja ini juga dikenal sebagai hubungan perburuhan yang diatur dalam aturan ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan sendiri bertujuan untuk melindungi dan menciptakan rasa aman, tentram, dan sejahtera bagi seluruh rakyat.

Terdapat bebeeapa jenis hubungan kerja di Indonesia, antara lain: Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), Pekerja harian lepas, Outsourcing atau alih daya.

Selain itu ada syarat lain yaitu waktu kerja (jangka waktu kerja dan jam kerja yang jelas).

Pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan kerja, antara lain: Pekerja/buruh, Pengusaha/pemberi kerja, Serikat kerja/serikat buruh. Dalam skala yg luas ditambah peran pemerintah menjadi hubungan industrial.

Ada perbedaan antara status kerja antara ojol dengan pekerja pada umumnya. Ojol adalah individu yang mempunyai alat produksi (terlepas dr status kepemilikanya: kredit, sewa dll) dan skill individu untuk mengoperasikan alat produksi dan mengaplikasikan skillnya ( Hard skill maupun soft skill).

Dari sini ojol sebenarnya pelaku usaha mikro ketika memberikan jasa transportasi dengan motornya, sebelum ada aplikasi mereka biasa disebut Opang. (Atau rental mobil P to P, yang iklannya bisa ditempel di tiang listrik atau medsos pada umumnya).

Disisi lain aplikasi transportasi online yg sekarang eksis adalah merupakan perusahaan aplikasi tanpa mempunyai armada transportasi (mereka tak bisa disebut perusahaan transportasi online), maka mereka membuka peluang kemitraan pada para pemilik motor dgn berbagai persyaratan. Dalam hal ini mereka bukan perusahaan transportasi. Mereka sejatinya hanya menggantikan tiang listrik yang tadinya digunakan pemilik kendaraan untuk menempel iklan dalam menjaring konsumen.

Sementara ini, yang bisa disebut pekerja Go jek, Grab atau yang lain adalah para pekerja di kantor, pekerja admin, manajer, supervisor yang mempunyai perjanjian kerja dan syarat-syarat kerja yang jelas seperti upah, perintah atau tugas pekerjaan sesuai posisi dan jam kerja.

Berbeda dengan praktik di perusahaan taksi semisal Bluebird yang sejak awal memang merupakan perusahaan transportasi yang mempunyai armada dan merekrut driver dengan perjanjian kerja lengkap dgn jam kerja pendapatan minimum yang ditentukan, dan mendapatkan kaminan sosial (asuransi), meski sering disebut mitra driver dan ada penyesuaian2 khusus terkait bonus dan lain-lain. Ketika Bluebird membuat aplikasi pemesanan hanya sebagai pelengkap untuk memudahkan konsumen memesan.

Jadi hubungan antara pemilik kendaraan (driver) personal (P) dan perusahaan aplikasi sebagai entitas bisnis (B) dalam khazanah transportasi online sekarang ini adalah hubungan bisnis/usaha (bussines relation) dan bukan hubungan industri (industrial relation).

Perubahan status mitra menjadi pekerja dgn situasi sekarang ini menjadi sangat kompleks bahkan cenderung mengakibatkan sesat pikir (missunderstanding) dalam mencari solusi dikalangan driver online, masyarakat bahkan oleh pemerintah. Sehingga wajar jika menteri Bahlil sempat memasukkan ojol sebagai pekerja yang tidak berhak mendapatkan subsidi BBM. Yang kemudian direvisi ojol sebagai pelaku UMKM yang berhak dapat subsidi.

Ojol sebagai pelaku usaha bermitra dengan perusahaan aplikasi sudah benar, dan ini bisa menjadi peluang besar bagi Ojol untuk mendapatkan bagi hasil (profit sharing) yang besar dibandingkan dgn tarif ataupun upah minimum.

Ojol harus melakukan aksi bisnis

Hubungan kemitraan bisnis inilah yang harus dipahami oleh driver untuk meningkatkan pisisinya melalui kolaborasi antara pemilik kendaraan sebagai entitas bisnis dalam bentuk koperasi. Sehingga posisi kemitraan antara B to B dan bukan B to P (B =perusahaan aplikator atau badan hukum koperasi, P = driver).

Ojol yang selama ini individual sebagai pemilik modal kendaraan (pelaku usaha mikro) yang hanya membuat komunitas berbasis solidaritas, mulai sekarang harus melakukan aksi bisnis (bussines action) dengan “merger” dan erhimpun melalui koperasi. Koperasi sejatinya dapat menjadi “holding company” para driver online.

Setelah itu bisa melakukan hubungan kemitraan yang sejajar (equal) dengan perusahaan aplikasi) dan mendapatkan akses terhadap profit yang dihasilkan atas kemitraan tadi.

Kendaraan yang dimiliki para driver harus dinilai atau divaluasi dan diakumulasi sebagai aset bersama atau modal dalam hubungan bisnis bersama aplikator, sehingga setiap driver mempunyai hak pendapatan yang lebih besar, bukan hanya sekedar upah minimum dan THR. Ojol melalui koperasi juga bisa berperan dalam menentukan aturan bisnis bersama dengan penuh tanggungjawab dan profesionalisme.

Selain sebagai wadah usaha atau holding company yang melakukan kemitraan dengan perusahaan aplikasi, koperasi juga membuat program usaha mandiri untuk anggota dan keluarganya, program peningkatan kapasitas driver dan lainnya. Dus, driver mendapatkan penghasilan dan sumber kesejahteraan bukan hanya dari tarif tapi dari profit sharing kemitraan, tapi juga dari usaha mandiri di koperasi serta SHU setiap tahun dari koperasi.

Sekarang ini pemerintah sudah melakukan langkah maju dengan menetapkan ojol sebagai pelaku UMKM yang menjadi prioritas dari Kemenkop dalam program khusus pemberdayaan koperasi ojol.

Maka pemerintah sudah tidak boleh gamang dan saling lempar hendak kemana regulasi atau payung hukum ojol dibuat.

Sudah tidak boleh saling lempar antara kementrian perhubungan, komindigti, kemenaker dan kemenkop. Ini adalah soal bagaimana mengembangkan usaha mikro, bukan soal ketenagakerjaan. Memastikan ojol beroperasi dan menjadi entitas bisnis yang handal dan akuntabel. Akan lebih sempurna dibarengi dengan melegalisasi roda dua sebagai alat transportasi (barang dna orang) skala kecil (dalam kota).

Kini bukan saatnya bertanding, tapi bersanding dalam kolaborasi. Inilah kemitraan dan gotong-royong berdasarkan Pancasila. Pada tahap ini marwah dan martabat driver (dan keluarganya) menjadi lebih terhormat, tak lagi marjinal. Dan Koperasi sebagai soko guru ekonomi mulai ditegakkan mulai dari ojol!

So, sobat ojol pilih mana, jadi pekerja atau jadi pelaku usaha?

Penulis: Aktivis PRD, Ketum FNPBI, pengurus Kedai Ide Pancasila dan Sekretaris Koperasi Gober Indonesia

banner 336x280
banner 120x600
  • Bagikan
Close