Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jabar
Ada satu hadis yang dijadikan dalil oleh Hizbut Tahrir (HT) tentang wajibnya Khilafah Tahririyah sekaligus dalil bahwa Khilafah Tahririyah merupakan sistem warisan Rasulullah saw. Langsung disebut Khilafah Tahririyah, bukan Khilafah secara umum, karena Khilafah yang diinginkan dan diperjuangkan HT adalah Khilafah Tahririyah bukan khilafah-khilafah yang lain.
Hadis tersebut berbunyi:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ…
“Dahulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Yang akan ada adalah para khalifah dan mereka banyak…” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ibn Majah).
Hadis ini menerangkan perihal tugas pokok dan fungsi Nabi-nabi Bani Israil di tengah-tengah umatnya yaitu mengurus semua urusan umatnya. Tupoksi yang juga diemban oleh Nabi Muhammad saw beserta khalifah-khalifah setelahnya.
Berdasarkan hadis itu pula dalam kitab Afkar Siyasiyah (Pemikiran Politik Islam) yang tulis Abdul Qadim Zallum dirumuskan definisi politik (siyasah) yaitu ri’ayah su’unil ummah (pengatur semua urusan umat). Entah mengapa di kemudian hari dalam beberapa kitab dan artikel yang ditulis oleh aktivis HT hadis tersebut dijadikan dalil tentang kewajiban mendirikan Khilafah Tahririyah dan dalil Khilafah Tahririyah merupakan sistem warisan dari Nabi Saw.
Kemungkinan besar karena ada redaksi وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ (akan ada khalifah-khalifah yang jumlahnya banyak). Sebanyak apa? Sebanyak 4 orang khalifah Khulafaur Rasyidin, 14 orang Khalifah Umayyah, 37 orang Khalifah Abbasiyah, 36 orang Khalifah Utsmaniyah. Jika kita tambah dengan Khalifah-khalifah yang disebut Sultan tentu lebih banyak lagi.
Hadis di atas sesungguhnya fokus membicarakan tentang tupoksi para Nabi dan Khalifah dalam mengurus semua urusan umat. Tidak ada hubungannya dengan sistem pemerintahan sama sekali.
Artinya, tupoksi tersebut dapat dijalankan dalam sistem pemerintahan manapun. Hal ini dibuktikan dengan kedudukan Nabi-nabi Bani Israil, Nabi Muhammad Saw, dan Khalifah-khalifah setelahnya yang berbeda-beda di dalam sistem pemerintahan yang sedang berjalan saat itu.
Contohnya, Nabi Yusuf as. Nabi Yusuf as adalah Nabi Bani Israel yang menjadi pejabat negara dalam sistem pemerintahan kerajaan. Kepala negara dan pemerintahannya seorang raja bukan Khalifah.
Nabi Yusuf as bukanlah seorang pejabat negara dalam sistem Khilafah Tahririyah. Tupoksi sebagai pengurus umat dilakukan dalam kedudukannya sebagai Nabi yang menjadi pejabat negara dalam sistem kerajaan.
Nabi Musa as dan Harun as adalah dua orang Nabi yang diutus untuk Bani Israil. Pada masanya sistem pemerintahan yang berlaku adalah kerajaan yang rajanya disebut Fir’aun.
Berbeda dengan Nabi Yusuf as, Nabi Musa as dan Harun as bukan pejabat negara. Mereka berdua menjadi tokoh oposisi bagi Raja Fir’aun. Dengan kedudukan yang demikian mereka berdua menjalankan tupoksi sebagai pengatur urusan umat.
Nabi Daud as dan Sulaiman as adalah dua orang Nabi Bani Israil yang menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam al-Qur’an surat Shad: 26 dikatakan Allah swt menjadi Nabi Daud as sebagai Khalifah.
Tapi sistemnya bukan Khilafah Tahririyah sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 251, bahwa Allah swt memberi al-mulk (kekuasaan, kerajaan) kepada Nabi Daud as. Bukan memberi Khilafah. Adapun Nabi Sulaiman as menjadi penerus dari pemerintahan Nabi Daud as.
Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as menunaikan tupoksi mengurus umat sebagai penguasa (raja) dalam sistem pemerintahan kerajaan, bukan sistem Khilafah Tahririyah.
Nabi Ilyas as, Ilyasa as, Zulkifli as, Yahya as dan Isa as merupakan Nabi-nabi Bani Israil yang berkedudukan sebagai rakyat biasa di hadapan penguasa. Mereka tidak punya jabatan apa-apa di pemerintahan. Dengan posisi sebagai rakyat biasa mereka menjalankan tupoksi dalam hal mengurus umat.
Nabi Muhammad saw bukan Nabi Bani Israil. Nabi Muhammad saw diutus untuk semua umat manusia sampai akhir zaman.
Ketika diangkat menjadi Nabi, dalam struktur kekuasaan saat itu Muhammad saw berkedudukan sebagai warga masyarakat biasa. Bukan termasuk elite politik Mekkah.
Akan tetapi karena Beliau saw keturunan pemuka suku Quraisy, berakhlak mulia dan punya banyak jasa kepada masyarakat, maka Beliau saw menempati posisi sosiologis yang istimewa. Namun demikian dalam perjalanan dakwahnya Muhammad saw menjadi tokoh oposisi yang dianggap mengancam kedudukan para elite politik Mekkah.
Dalam posisi yang tertekan dan terjepit Muhammad saw menjalankan tupoksi sebagai pengurus urusan umat. Nabi Muhammad saw memimpin para sahabat. Mendidik, membina, menyantuni dan melindungi. Memerintahkan para sahabat hijrah ke Habasyah dan Yatsrib.
Tupoksi mengurus umat dilanjutkan ketika Beliau saw menjadi kepala negara dan pemerintahan di Madinah. Dalam sebuah daulah yang disebut Daulah Nabawiyah. Daulah Nabawiyah adalah sebuah daulah yang dipimpin oleh seorang Nabi saw.
Perbedaan kedudukan para Nabi Bani Israil dalam pemerintahan dan perbedaan posisi Nabi Muhammad saw ketika di Mekkah dan Madinah dalam menjalankan tupoksi mengurus semua urusan umat menunjukkan bahwa, hadis yang digadang-gadang oleh HT sebagai 1] Dalil wajibnya mendirikan Khilafah Tahririyah; 2] Dalil bahwa Khilafah Tahririyah merupakan sistem pemerintahan warisan Nabi Muhammad, sama sekali tidak membicarakan kedua hal tersebut.
Lagi-lagi HT salah dalam ber-istidlal.