Oleh: Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jabar- Lulusan Kajian Terorisme SKSG UI – Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB
Radikalisme pada tahap awal berupa percikan-percikan pemikiran yang ingin me-reset settingan negara kembali ke settingan pabrik. Imbas dari pengelolaan negara oleh pemerintah yang menyimpang dari khittah.
Khittah negara Indonesia tertera dalam Pembukaan UUD 1945. Penyimpangan pemerintah secara kasat mata dibuktikan dengan 3 dari 4 tujuan nasional yang tertera pada alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 tidak tercapai. Yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Fasilitas-fasilitas keamanan, kesejahteraan dan pendidikan memang disediakan oleh pemerintah, tapi berbayar. Tidak gratis. Tingkat pelayanannya mengikuti harga pasar. Ada harga ada layanan. Dengan jaminan harga tidak membohongi layanan.
Layanan pemerintah menjadi mesin kapitalis, menyalahi khittah bernegara bangsa Indonesia yang mengatakan bahwa keamanan, kesejahteraan dan pendidikan adalah hak segenap anak bangsa. Tanpa melihat status sosial dan ekonomi. Tanpa melihat memampuan membayar masyarakat.
Selain menyalahi khittah, format pemerintahan berbayar menciptakan kemiskinan struktural secara massif yang berpotensi menjadi bahan bakar (fuel) radikalisme.
Ada dua pendapat yang mengemuka tentang hubungan antara kemiskinan dan radikalisme. Pendapat pertama mengatakan bahwa, kemiskinan merupakan faktor yang menyebabkan radikalisme. Pendapat ini didukung oleh data dan fakta di negara-negara Asia Afrika yang mayoritas penduduknya miskin menjadi tempat subur bagi tumbuh dan berkembangnya gerakan-gerakan radikal.
Pendapat kedua, mengatakan bahwa, bukan kemiskinan tapi ideologi yang membuat orang menjadi radikal. Pendapat ini berdasarkan data dan fakta keikutsertaan kalangan menengah atas dalam gerakan-gerakan radikal dan kehadiran gerakan-gerakan radikal di negara-negara maju.
Apakah kemiskinan atau ideologi yang menjadi stimulan, yang jelas keduanya berangkat dari satu perasaan yang sama, yakni kecewa, benci dan marah kepada pemerintah yang gagal menjalankan fungsinya dalam melindungi, mensejahterakan dan mencerdaskan masyarakat. Terlebih bagi masyarakat yang hidup di negara-negara yang kaya sumber daya alam. Contohnya Indonesia.
Alih-alih mensejahterakan, akibat salah tata kelola sumber daya alam berubah menjadi bencana. Richard Auty (1993) menyebutnya dengan istilah resourse curse (kutukan sumber daya). Pada kasus tambang, tambang telah menyebabkan kemiskinan ekologis. Mining is poverty (Kolopaking, 2024).
Kemiskinan, ideologi dan rasa kecewa, benci, serta marah kepada pemerintah merupakan tiga jenis bahan bakar (fuel) bagi radikalisme. Adapun propaganda dari kelompok radikal yang menjadi korek api (match). Bahan bakar radikalisme mana yang lebih mudah terbakar oleh propaganda kelompok radikal? Tergantung situasi, kondisi dan dinamika politik bangsa.