Jakarta – Pemasangan spanduk yang memuat pesan penolakan terhadap jenazah Muslim pendukung Ahok di beberaoa masjid/musholah di Jakarta masih ramai diperbincangkan dan diperdebatkan. Perdebatan menghangat setelah jenazah Mak Hindun (78), meninggal pada Selasa (7/3/2017), disebut keluarga ditolak disalatkan di musala dekat rumahnya di Jl. Karet Raya, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Komite Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Kamerad) mendukung upaya Kepolisian untuk menjerat para pemasang spanduk larangan menyalatkan jenazah pendukung pasangan calon kepala daerah DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dengan hukum pidana.
“Spanduk larangan tersebut bisa berpotensi masuk dalam ranah tindak pidana. Kami minta Kepolisian bisa tindak tegas, juga aktor intelektual yang menggerakkan massa tersebut,” tegas Ketua Presidium Kamerad Haris Pertama, Senin (13/3).
Lebih lanjut, Haris menyebut bahwa himbauan boikot itu bernada provokasi, memantik hal negatif dalam kehidupan bermasyarakat dan berdampak disalahartikan umat Islam lainnya. Pihaknya meminta agar Polisi menyelidiki kasus pemasangan spanduk provokasi tersebut.
“Asal muasal spanduknya, sepertinya dari satu sumber. Tidak banyak sumber. Hurufnya sama dicetak bersamaan berarti ada yang menggerakan. Ini wujud intoleransi sesama muslim yang kian kasat mata,” sebutnya.
Haris juga menyayangkan beredarnya spanduk yang kental beraroma politik itu. Dia juga mengapresiasi upaya Pemda DKI melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) yang sudah berusaha membersihkan spanduk yang berbau provokatif.
“Jika ditemukan pidananya, maka Polisi jangan ragu untuk menindaknya. Bawaslu juga harus berani untuk turun ke lapangan melihat fenomena yang sepertinya ada potensi intimidasi,” terang dia.
Lebih jauh, Haris menghimbau perlu ada langkah tegas dilakukan para penyelenggara pesta demokrasi agar Pilkada DKI bisa berjalan jujur, adil (jurdil) dan langsung, umum, bebas, rahasia (luber). Selain itu, kata Haris, agar terhindar ketersinggungan antar warga yang memilih pandangan politik berbeda di pilkada Jakarta.
“Jangan karena berbeda, terus harus dipaksa-paksa. Kan ada hak asasinya juga orang pilih mana. Gara-gara gak suka terus ribut dan bermusuhan. Islam tidak mengajarkan demikian, jangan-jangan pemasang spanduk ini aliran ISIS gaya baru yang sudah berkembang di Indonesia. Jadi kelompoknya paling benar sendiri, hargai perbedaan orang lain donk,” tandasnya.