Oleh: Abdul Ghopur
Mengapa puasa Ramadhan memiliki kaitan yang erat dengan iman seseorang? Dan, mengapa (umumnya) hanya pada bulan puasa saja kadar keimanan dan kesalehan sosial seseorang meningkat dari biasanya? Sementara di bulan-bulan lain kadar keimanan dan kesalehannya biasa-biasa saja bahkan makin berkurang. Puasa Ramadhan seakan hanya dijadikan “tradisi” atau “ritual tahunan” saja, bahkan dalam situasi tertentu menjadi begitu eforia tanpa pemaknaan nyata dalam hidup. Pertanyaan ini sudah lama mengusik para peneliti agama, sosiolog bahkan psikolog. Tetapi belum ada penjabar-jelasannya yang memuaskan dari sisi psikologis.
Kita tahu, Ramadan adalah bulan puasa dan bulan penuh perjuangan. Masuk dalam bulan ini artinya masuk dalam ranah perjuangan dan ujian untuk menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya (seperti makan, minum, hubungan Intim, gibah, fitnah dan sebagainya) dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari, dengan disertai niat ibadah karena Allah semata (Lillaahita’aala) seraya mengharapkan ridloNya dan menyiapkan diri guna meningkatkan taqwa kepadaNya.
Sebagaimana ibadah ritual lainnya, fokus dan tujuan utama ibadah puasa adalah manusia yang beriman dan bertakwa (berserah-diri hanya padaNya). Meneladani sifat-sifat kerasulan bahkan ketuhanan sekaligus. Tetapi, perjuangan ini bukan tradisi Islam saja, sebab, Allah mewajibkan seluruh kaum beriman untuk menjalankan perjuangan dan puasa, sebagaimana diterangkan dalam Al-Quran, surat Al-Baqarah, ayat 183: “Wahai sekalian orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” Ini menunjukkan bahwa puasa merupakan bentuk perjuangan umat-umat sebelum Islam (dikatakan: atas orang-orang sebelum kamu). Artinya, perjuangan dalam bentuk berpuasa menjadi perjuangan universal milik semua kaum beriman.
Pendapat para ahli mengatakan, perjuangan dalam bentuk puasa merupakan salah satu bentuk ibadat yang paling purba dan mula-mula, serta yang paling luas tersebar di kalangan umat manusia. Semua umat bertuhan selalu menyediakan ritual puasa. Bagaimana puasa itu dilakukan, dapat berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Bentuk puasa yang umum selalu berupa sikap menahan diri dari makan dan minum serta dari pemenuhan kebutuhan biologis bahkan dari berbicara. Menahan diri adalah usaha pertobatan yang menghantarkan manusia pada sifat kesucian (fitrah) serta sifat ketuhanan (ilahiyah).
Berpuasa dengan demikian intinya adalah bertaubat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “setiap bani Adam berbuat dosa, dan sebaik-baiknya orang yang berbuat dosa adalah yang bertaubat.” Sebagaimana pula kata Rasul, inti ibadah adalah taubat dan barangsiapa yang sengaja mengurangi imannya dan tidak mau bertaubat, maka benar-benar dia telah dengan sengaja membuat kemurkaan Tuhannya. Barangsiapa yang sengaja membuat kemarahan Tuhannya, maka benar-benar dia telah mengkufuri nikmatNya. Barangsiapa yang bertaubat dan memperbaiki kelakuannya, dan kembali kepada Tuhannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang, Maha Pengampun lagi Maha Dermawan” (HR. Bukhari).
Karena itu, perjuangan yang panjang selama bulan Ramadhan pastilah “menghabiskan” tenaga, pikiran bahkan perasaan. Setelah berjuang sebulan penuh, jiwa akan lelah sekaligus bahagia. Raga akan kurus sekaligus sehat. Perasaan akan tanak dan penuh sekaligus bahagia. Dengan ragam seperti itu pantaslah jiwa-raga dan rasa, membutuhkan oase dan terminal untuk berbagi. Karena itu, Mudik dan berLebaran dianggap sebagai “obat lelah” dan menjadi terminal yang dituju, tempat yang diharapkan bagi pemenuhan berikutnya.
Lantas, pertanyaannya kemudian, apakah hanya sampai di situ perjuangan keimanan kita? Bukankah, Allah SWT selalu mewajibkan hambanya untuk terus mengabdi/menyembahNya, sebagaiamana tercantum dalam QS. adz-Dzariyat: (56) “Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”? Alih-alih, dengan Mudik dan berLebaran yang menjadi kanal untuk saling berbagi kemenangan, kegembiraan, dan pelepasan penat yang takberkesudahan, lebih jauh lagi saling bermaafan dan sungkeman, menjalin persahabatan dan silaturrahim dengan melepas kangen dan kerinduan mendalam yang telah ditumpuk bertahun bahkan berwindu di rantau orang, justru setelah merantau kembali untuk mencari nafkah, menumpuk dan memadatkan waktu, orang-orang malah lupa dengan nilai inti di puasa Ramadhan sebelumnya. Mereka sibuk masing-masing dalam kesendirian tanpa sanak saudara di kota-kota besar menjumlahkan keterasingan dan persaingan.
Suasana persaingan dan perasaan keterasingan inilah biang merosotnya rasa kekeluargaan dan kebersamaan, bahkan nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme dan semangat kemajemukan sebagai bangsa yang multikultural. Dus, masih saja ada upaya pengingkaran terhadap pluralitas bangsa Indonesia yang setiap saat dapat saja muncul ke permukaan. Suasana persaingan dan perasaan keterasingan ini pulalah biang dan pendorong meningkatnya derajat kekangenan yang menggila menjelang Lebaran/Hari Raya tadi. Sehingga, seperti telah disampaikan di atas, Puasa Ramadhan hanya dijadikan “tradisi” atau “ritual tahunan” saja, sekaligus eforia belaka. Persaingan dan keterasingan di urban seperti membuat manusia menjadi aneh dan “tersesat” dari tradisi besar masa lalunya. Ia menjadi sendirian dan dalam lubuk hatinya yang terdalam mengalami kesengsaraan sambil linglung antara mengikuti tradisi masa lalu yang masih terpatri, atau terus berjalan dalam rute yang belum jelas dan tak terpetakan; tanpa perahu dan Nakhoda, tanpa navigator dan bahan bakar yang cukup, tanpa kawan yang jelas dan musuh yang tak abadi.
Karena itu, tugas kaum beriman sesungguhnya memperbaiki jiwa yang sepi dan duka serta dunia yang luka dan asing. Jika kaum beriman tidak mampu melakukannya, tidak ada gunanya suatu iman, tidak ada manfaatnya suatu agama, mubazirlah perjuangan dan puasa. Dengan demikian, apa yang dibutuhkan dunia sekarang adalah bukan sekadar iman, bukan hanya agama, juga bukan sekadar dogma kaku tapi belas kasih dan tindakan yang menunjukkan penghormatan pada nilai-nilai sakral seluruh mahluk hidup; siapa pun mereka, terutama yang luka-lukanya menganga.
Di sini nilai ibadah Puasa Ramadhan, baru mendapatkan pemaknaannya secara substansial, bukan sekadar tradisi tahunan tetapi juga sebagai pemuas dahaga iman dan spiritual manusia. Semoga kita semua bisa menjadi kaya raya lahir dan batin (iman). (semuanya merupakan pendapat peribadi). Marhaban ya Ramadhan..[]
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah;
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(banyak menulis buku/artikel & punya banyak mimpi besar)