Oleh: Abdul Ghopur
“Berikan aku 1000 Orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kugoncang dunia.” {Bung Karno}
Kredo yang menyatakan: “sejarah ditulis oleh pemenang atau penguasa,” bisa jadi ada benarnya. Sebab, semua sejarah di dunia yang kita ketahui, pahami, bahkan kita yakini selama ini berdasarkan dari catatan-catatan sejarah yang dituliskan. Meskipun faktanya tidak melulu demikian. Dalam tanda kurung (banyak sekali peristiwa yang menyejarah di bangsa ini tak dituliskan oleh para nenek-moyang kita, melainkan hanya diceritakan dari mulut ke mulut/dituturkan/ketuk-tular). Tetapi para “pembuat sejarah” selalu berusaha menyisipkan peran kesejarahannya pada peristiwa yang terjadi bahkan hanya kronik sekali pun. Menukil apa yang dikatakan Bung Hatta: “sejarah adalah pemahaman masa lampau yang mengandung berbagai dinamika, mungkin juga berisi problematika pelajaran bagi manusia berikutnya.” Apa pun itu, pentingnya catatan-catatan peristiwa yang terjadi itu untuk dituliskan, agar menjadi refleksi bagi generasi penerus.
Sebab lebih jauh, menulis adalah kerja-kerja pengabadian (pikiran atau ide). Perlu kita ketahui, bahwa salah-satu kelemahan bangsa kita adalah di bidang scripture (naskah/tulisan). Padahal, begitu banyak ide-ide bangsa kita yang sangat brilian yang bisa dijadikan rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia, terutama berbicara persoalan kearifan-kearifan kehidupan. Dan, sejatinya pemuda harus bicara persoalan-persoalan kebangsaan yang strategis, bukan yang remeh-temeh (mediokrasi). Sebab, masalah bangsa dewasa ini menjadi semakin kompleks dan multidimensional (complicated) yang perlu dicarikan penyelesaiannya selekas-lekasnya. Padahal, semua problem kebangsaan ini meski berat, tapi kalau boleh disederhanakan (tidak mengecilkan persoalan), ya sederhana. Tinggal bagaimana kita mau berpikir, bernalar dan bertindak sederhana (sekali lagi, tidak mengecilkan). Tetapi sayangnya, kita terlalu memperumit (njlimet) cara berpikir kita. Sehingga, menjadikan problem-problem kebangsaan (korupsi, kemiskinan, terorisme, dsb.) kita tidak pernah tertuntaskan dengan baik karena kita berpikir terlalu ruwet. Misalnya, masalah terorisme, meski persoalan terorisme bukanlah hal yang baru bagi bangsa ini, apa sih akar permasalahan terorisme? Persoalan ideologikah, persoalan ekonomikah atau persoalan-persoalan lainnya yang sesungguhnya ada jawabannya, ada caranya. Pertanyaannya, kita mau apa tidak menyelesaikannya sungguh-sungguh?
Peran kesejarahan pemuda dan persoalan kebangsaan
Perlu kita garis-bawahi, ketahuilah persoalan kebangsaan itu sebenarnya bukan cuma persoalannya para kaum intelektual, politisi, birokrat, atau tekhnokrat saja, tapi ini persoalan kita bersama. Karena kita hidup di sebuah negara-bangsa kepulauan, kita hidup bersama di Indonesia, jadi ini persoalan kita bersama. Sebagai apa pun posisi kita di bangsa ini, terutama sebagai pemuda kita tidak boleh abai (ignore) pada permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini. Sebab, pemuda sesungguhnya bukan sekadar bagian dari lapisan sosial dalam masyarakat saja. Sebab mereka memainkan peranan penting dalam perubahan sosial. Tapi jauh daripada itu, pemuda merupakan konsepsi yang menerobos definisi pelapisan sosial tersebut, terutama terkait konsepsi nilai-nilai. Sejarawan Taufik Abdullah (1995) memandang pemuda atau generasi muda adalah konsep-konsep yang sering mewujud pada nilai-nilai herois-nasionalisme. Hal ini disebabkan keduanya bukanlah semata-mata istilah ilmiah, tetapi lebih merupakan pengertian ideologis dan kultural. “Pemuda harapan bangsa,” “pemuda pemilik masa depan bangsa,” dan sebagainya, betapa mensaratkan nilai yang melekat pada kata “pemuda” (Abdul Ghopur, Opini Media Indonesia, 28-10-2009).
Pernyataan menarik di atas, dalam konteks Indonesia sebagai bangsa, menemukan jejaknya. Sebab, berbicara sosok pemuda memang identik dengan nilai-nilai dan peran kesejarahan yang selalu melekat padanya. Sosok pemuda selalu terkait dengan peran sosial-politik dan kebangsaan. Ini dapat dipahami mengingat hakikat perubahan sosial-politik yang selalu tercitrakan pada sosok pemuda. Citra pemuda Indonesia tidak lepas dari catatan-catatan sejarah yang telah diukirnya sendiri. Taufik Abdullah pernah menyatakan, betapa peristiwa-peristiwa besar di negeri ini dilalui dan digerakkan oleh pemuda. Sejarah telah membuktikan pula bahwa pemuda merupakan penggerak utama “denyut nadi revolusi” suatu bangsa di mana pun, tak terkecuali Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 (konon, sebagai gerakan kebangkitan nasional pertama), merupakan rekayasa sosial-politik para pemuda Indonesia dalam menggerakkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia melawan penjajah kolonial. Tonggak penting itu memunculkan kesadaran moral kebangsaan dua puluh tahun kemudian, dengan melahirkan peristiwa monumental bagi persatuan dan kesatuan sebuah bangsa besar. Pada 28 Oktober 1928 sekelompok pemuda dari berbagai suku dan daerah berikrar dan menegaskan kesatuan niat, kebulatan tekad dan semangat satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Inti dari sumpah itu adalah membangun rasa persaudaraan sebangsa dan setanah air. Ikrar suci dan semangat nasionalisme itu kemudian mengkristal dan menjemal menjadi gerakkan politik kemerdekaan tujuh belas tahun kemudian, yang menemukan momentumnya saat diproklamirkannya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarano dan Hatta (yang tak lain adalah orang-orang muda).
Tidak mengherankan jika kemerdekaan Indonesia tak lepas dari gerakan “revolusi kaum muda.” Sebagaimana dinyatakan oleh Taufik Abdullah di atas, prestasi dan citra kaum muda Indonesia begitu menyejarah sepanjang berdirinya Republik Indonesia. Pergantian rezim ke rezim di Indonesia juga melibatkan pemuda. Sedemikian melekatnya nilai-nilai kepeloporan dan semangat kebangsaannya, tentu saja ini menjadi beban sekaligus tanggungjawab moral sosial pemuda Indonesia ke depan. Sering didapati dalam banyak artikel (tulisan) dan kita sendiri bahkan menyaksikan peran partisipasi pemuda yang sangat besar dalam membangun, menyumbang, dan mendukung perkembangan bangsa. Dengan demikian sesungguhnya, diskursus kepemudaan tidak semata terkait persoalan politik. Namun, memiliki spektrum yang lebih luas, mencakup seluruh dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Revolusi mati suri
Namun melihat realitas pemuda Indonesia yang ada kini, sungguh jauh panggang dari api. Gagasan nasionalisme dan visi reformasi yang diusung kaum muda dengan sendi moral, ide dan gagasan bersih pada akhirnya harus tunduk pada takdir yang tidak bisa dielakkan. Ia menemukan ekspresinya dengan menjelma menjadi rutinitas dan tanpa (realisasi) harapan. Ia menerima kenyataan-kenyataan riil yang menyeretnya secara kuat untuk tenggelam. Pesonanya memudar, kharismanya melarut dan daya revolusinya mati muda atau mati suri. Nasionalisme pemuda kian hari kian sirna bahkan terkoyak. Apalagi dengan hadirnya paham-paham yang sesungguhnya anti dengan yang dirumuskan oleh para Founding Fathers kita. Paham-paham yang sangat bertentangan dengan ideologi bangsa kita atau falsafah kita berbangsa-bernegara yaitu Pancasila.
Quo vadis nasionalisme?
Akibatnya, sambil menunggu drama politik dan peruntungan antara rakyat dan penguasa, eksekutif dan legislatif, penambahan umur kita menyela untuk menandai semakin rentanya republik ini. Renta bagai zombi, tanpa gambaran bernas masa depan, hanya sedikit cercah harapan. Apa mau dikata, pemilu 2019 (konon terdemokratis) yang telah dilewati, kita memang kehadiran drama realis politisi bersih yang terulang tanpa bisa dielakkan; kalah mengenaskan. Alih-alih, membangun politik bersih, membangun sistem dari dalam (katanya), malah terseret pada lingkaran setan (vicious cirle) korupsi yang tak terputus. Dari rezim ke rezim, dari pemilu ke pemilu, drama dan pertarungan atas nama moral bersih berputar tanpa skenario baru. Sehingga, tidak menghasilkan kejayaan yang elegan. Sebaliknya muncul dengan wajah buram, menguasai banyak medan pertempuran tapi kalah telak di akhir perang, banyak di mana-mana tetapi selalu tak mendapat apa-apa. Dari waktu ke waktu, drama dengan modal moral bersih, kalah oleh lupa karena miskin kader dan agenda. Meninggalkan ingatan untuk menjejer luka-luka baru, yang luka lamanya tak tersembuhkan. Termasuk luka akibat ”perpecahan” bangsa. Dengan sederet persoalan tersebut, mau dibawa kemana nasionalisme kita?
Spiritualitas Nusantara dan kemajemukan
Syahdan, jawaban atas persoalan-persoalan bangsa kita ini sesungguhnya sudah ada pada diri bangsa ini sendiri. Di antara lain adalah kearifan-kearifan lokal kita, kebijaksanaan-kebijaksanaan para leluhur kita dulu, yang sudah mengajarkan bagaimana tata-cara kita hidup rukun sesama anak bangsa. Kita boleh saja berbeda agamanya, ras-nya, etniknya, warna kulitnya, ciri khas makanannya dan sebagainya. Apa pun agamanya, apa pun kepercayaannya, apa pun latar belakang kita, semua punya satu ciri khas persamaan, yaitu spiritualitas Nusantara. Contoh, orang-orang tua kita di desa, ketika mereka akan memulai bercocok tanam semisal padi, itu ada ritual-ritual khusus atau tertentu, baik di Indonesia belahan barat, tengah dan timur. Jadi tidak asal atau tidak main tanam saja. Sekali lagi, apa pun agamanya punya ”ciri-ciri yang sama” (ciri kebudayaan/tradisi). Meskipun dalam banyak hal kita juga banyak perbedaan. Contoh lainnya, di Indonesia bagian timur terutama, yaitu ketika saudara-sadari kita dari kalangan nasrani akan membangun rumah ibadah (gereja), sadara-saudari kita dari kalangan muslim dan agama lainnya turut-serta membantu dengan berbagai cara, demikian juga sebaliknya. Inilah kemajemukan bangsa kita yang sudah terberi (given/take it for granted) sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa sebagai sumber kekuatan bangsa kita. Yaitu sesuatu yang sudah tumbuh, sudah ada, tetapi tidak berbenturan satu-sama-lain, membentuk satu-kesatuan. Dan, terutama sekali tidak saling menegasikan satu-sama-lain apalagi genosida seperti yang terjadi di belahan dunia lain. Inilah ciri yang paling melekat pada bangsa ini yakni gotong-royong.
Kultur dan natur bangsa yang memudar
Tapi sayangnya, dewasa ini ciri khas bangsa kita mulai pudar akibat masuknya ideologi-ideologi lain yang jelas-jelas bertentangan, baik ideologi kanan mau pun kiri, baik neokapitalisme, neoliberalisme, neoimperialisme, mau pun paham-paham lain yang tidak sesuai dengan kultur dan natur kita sebagai bangsa (Abdul Ghopur, Quo Vadis Nasionalisme.., BSD MIPA & LKSB, Jakarta, 2005, Cet. I). Belakangan, ditambah lagi dengan mewabahnya budaya film dan musik Korea yang menjangkiti pemuda-pemudi kita terutama kalangan remaja putrinya. Masuknya boy band dan girl band Korea dengan musiknya yang nge-bit (istilah anak zaman now) dan penampilan yang glowing-glowing, begitu memesona para remaja kita hingga histeris.
Generasi lebay dan zonder ideologi
Inilah kekurangan dan karena lemahnya kita memegang teguh budaya, keperibadian dan jati diri bangsa. Kelemahan budaya ini sesungghnya sumber dari lemahnya bidang-bidang lain. Sehingga, menjadi seolah-olah ”lumrah” (dalam tanda kutip) para muda-mudi kita menggemari budaya-budaya lain seperti Korean Pop yang sedang mewabah. Remaja putra-putri kita kini menjadi ”lemah-gemulai,” ”alay,” ”cabe-cabe-an,” dan ”lebay.” Ada pendapat yang mengatakan, disebabkan tidak pernah dituliskannya sejarah kita secara benar, secara komprehensip, maka tidak ada ”asupan gizi” sejarah bagi orang-orang muda. Jadi, orang-orang muda zaman now mengalami kekosongan ideologi (zonder ideologi).
Terori Freemasonry dan arif memaknai zaman
Dulu para pahlawan dan generasi para Founding Father di usia yang sangat belia, mereka sudah memiliki pikiran gemilang yang jauh melampaui zamannya? Sudah memikirkan bagaimana Indonesia merdeka, sudah memikirkan bagaimana membentuk sebuah negara-bangsa bahkan peradaban manusia modern. Tapi mengapa generasi zaman now malah mundur pemikirannya? Apakah ini kesalahan suatu zaman? Saya kira tidak bijak kalau kita menyalahkan zaman. Karena setiap orang ada zamannya, setiap zaman ada orangnya. Tinggal bagaimana kita arif memahami dan memaknai perkembangan dan perubahan zaman, dengan tetap tidak meninggalkan akar-akar tradisi kita. Hanya saja persoalannya kita sudah meninggalkannya baik sengaja atau tidak, baik dirancang atau tidak. Karena sebagian orang atau kalangan mencurigai bahwa proses perubahan ini by design oleh internasional terhadap Indonesia. Kekuatan tertentu di luar Indonesia terutama, seperti para kelompok rahasia Freemasonry (Loge Agung Indonesia) dan sejenisnya (seperti: Rotary Club, Divine Life Society, Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization of Crucians, dsb.) yang bergerak lintas batas negara, takut atau khawatir kalau Indonesia ini tetap memegang teguh pada kearifan kebudayaannya. Mereka khawatir akan menjadi sesuatu yang mengerikan bagi mereka. Sehingga, ketika budaya dihancurkan, maka semua kekuatan bangsa ini akan gampang mereka kikis dan hancurkan.
Jangan lupa, bahwa kekuatan tertentu tersebut memegang teguh prinsip Freemasonry. Yaitu tiga (3) prinsip dasar atau teori dasar Freemasonry dalam melemahkan, meruntuhkan dan menghancurkan suatu peradaban bangsa seperti Indonesia, yang secara umum ada tiga (3) hal, yakni: pertama (1), hapus sejarah bangsanya, termasuk tulisan-tulisan, naskah-naskah (scripture) kuno kita yang sekarang ada di Belanda, Amerika, Inggris dan di mana-mana. Sehingga generasi yang lahir belakangan tidak dapat mempelajari siapa jati diri bangsanya, seperti apa kebesaran masa lalu bangsanya. Hal ini menjadikan bangsa kita bermental minder (inlander) yang memandang seolah sesuatu yang datang dari Barat atau dari luar Indonesia itu sesuatu yang sangat luar biasa, yang (wow), lebih hebat daripada bangsa kita, baik yang berbau teknologi, budaya bahkan ideologi.
Kedua (2), hancurkan artefak-artefak, arketip, prasasti-prasasti dan bukti-bukti sejarah yang membuktikan sejarah kebesaran bangsa kita (seperti struktur bangunan-bangunan candi dan istana-istana kerajaan Nusantara). Kubur semua bukti-bukti peradaban dan kebesaran itu, agar tak dapat dikenali, diteleti dan dipelajari. Padahal, di masa yang silam bangsa ini mempunyai peradaban yang begitu besar yang luar biasa. Yang terakhir, ketiga (3), jauhkan para generasi penerus dengan sejarah para pendiri bangsanya, dengan mengatakan bahwa para pendiri bangsa itu primitif, kuno dan tidak up to date untuk dipelajari. ”Yang lalu biarlah berlalu, yang sekarang ya sekarang.” Begitu kira-kira kata generasi zaman now. Inilah yang membuat bangsa kita hancur. Padahal, yang lalu bukan berarti kuno, yang baru juga bukan berarti modern. Justru kadang-kadang orang-orang yang hidup di alam modern ini sangat primitif cara berpikirnya.
The will of nation
Pertanyaannya kemudian, apakah ada hasrat berbangsa/kebangsaan (the will of nation) di dalam benak dan mindset para pemuda terutama elit pemerintah, media massa atau elit-elit politik kita yang hidup di alam modern? Rasanya kita belum melihatnya, tidak pernah mereka berbicara pembangunan berdasarkan strategi dan akar kebudayaan. Pembangunan yang dilakukan selama ini hanya berdasarkan semangat materialisme (sangat pragmatis-materialistis dan elitis). Terutama para pemilik produksi media, media tak lebih sekadar alat industri sekarang, bukan lagi alat ”propaganda” kebudayaan. Gedung-gedung pencakar langit dibangun, jalan-jalan TOL dipanjang-panjangkan ribuan kilo meter, hutan-hutan (Kalimantan) sebagai paru-paru dunia malah dibabat-gunduli, perut bumi dikeruk dan digaruk demi kenyang perut sendiri, laut dicemari, dan sederet proyek pembangunan yang sangat pragmatis lainnya atas dalih kesejahteraan rakyat. Padahal sejatinya atas prinsip kerakusan dan keserakahan belaka!
Paling banter para elit itu hanya punya sedikit good will atau political will, atau mungkin malah tidak ada? Sesungguhnya pembangunan bangsa itu tidak cukup hanya dengan good will dan political will saja, tetapi harus juga dengan the will of nation. Sejatinya, berbangsa itu harus ada hasrat kebangsaan. Semua harus dibangun dan diawali dari kebudayaan, itu penting. Meskipun bicara kebudayaan itu tidak melulu seseorang yang punya lebel budayawan, semua orang menurut saya adalah budayawan, budi dan daya. Yakni, seseorang yang terus melestarikan tradisi dan kearifan-kearifan lokal masing-masing suku dan etnis.
Menggali mitos membangun etos
Atas sederet alasan di atas itulah, pentingnya upaya mendialogkan kembali diskursus tentang peran dan eksistensi pemuda dalam konteks pembangunan Indonesia. Antara lain dengan jalan kita kembali mengenali jati diri kita sebagai bangsa. Sebab, ada pepatah: ”tak kenal, maka tak sayang.” Bagaimana mau sayang, kenal saja tidak. Jangan-jangan kita belum mengenal jati diri kita sebagai bangsa. Bahkan di dalam dunia Islam ada kaidah yang berbunyi: ”Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu,” (barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya). Oleh karena itu kita harus mengenal jati diri kita sebagai bangsa, dengan cara menggali kembali mitos kebesaran dan kearifan bangsa kita, sehingga terbangun etos bangsa. Kemudian, jangan sampai kita tercerabut dari akar tradisi dan budaya kita yang adiluhung, dari kultur dan natur kita sebagai bangsa. Lalu, kita harus konsisten terhadap komitmen dan jujur pada diri sendiri, terutama konsisten terhadap komitmen kebangsaan kita, dan jujur membangunan bangsa. Dengan menguatkan nilai-nilai kerakyatan secara luas agar partisipasi dan kemanusiaan dapat dirayakan dengan sedikit harapan. Agar tidak paria di negara merdeka tetapi juga tidak phobia terhadap negara dan kapitalisme. Salam pemuda!
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB);
Salah-satu Inisiator Kedai Ide Pancasila
Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda).
Referensi:
Wawancara Bung Ghopur. 2015. Radio NU, Program Ranu Pagi (Radio NU Pagi-pagi). Jakarta: PBNU.
Abdul Ghopur. 2015. Quo Vadis Nasionalisme: Merajut Kembali Nasionalisme Kita Yang Terkoyak. Jakarta: BSD MIPA & LKSB.
Panitia Konferensi Internasional. 1997. Denyut Nadi Revolusi Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama & LIPI.
Anwar Siswadi & Andya Dhyaksa. 2019. Riwayat Kebangkitan dan Pemusnahan Freemasonry di Indonesia. Jakarta: Locadata.
Yunal Isra. 2018. Tinjauan Status Hadits ’Man Arafa Nafsahu Arafa Rabbahu’. Jakarta: nuonline.