Oleh: Abdul Ghopur
Selama ini beredar kesalah-pahaman konsep negara Islam di sebagian kecil kalangan masyarakat kita. Kesalah-pahaman ini adalah menganggap bahwa Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim haruslah berkewajiban menegakkan syari’at Islam un sich (kaffah) dengan mendirikan negara Islam (hukum-hukun yang berlaku berdasarkan hukum Islam, bukan hukum positif). Saya merasa berkewajiban meluruskan kesalah-pahaman ini (setidaknya sesuai kapasitas yang saya pahami) berdasarkan ajaran dan tuntunan para ulama’ ahlussunnah waljama’ah annahdliyyah, dalam hal ini yakni paham keislaman dan kebagsaan Nahdlatul Ulama yang berlandaskan Islam Ahlussunnah Waljama’ah An-Nahdliyyah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia, hampir 90 persen penduduknya beragama Islam. Meski demikian, Indonesia bukanlah negara Islam dan juga bukan negara sekuler, tetapi berdiri dan menjelma diantaranya, dengan memegang teguh konsep atau prinsip ketuhanan Yang Maha Esa. Dari beragam suku, ras, tradisi, adat-sitiadat, bahasa bahkan agama, menjadikan bangsa Indonesia (Nusantara) selalu berpegang teguh pada spiritualitasnya. Yang saya maksud ialah mengakui adanya dzat Yang Maha Ghaib, Maha Kuasa, yang diwujudkan dalam beragam bentuk dan kepercayaan. Saya menyebutnya sebagai “Spiritualitas Nusantara.”
Meski Islam menjadi agama mayoritas, namun Islam dapat menerima Pancasila sebagai falsafah atau landasan (dasar) bernegara. Penerimaan ini meruapakan perwujudan kebudayaan manusia Nusantara sebagai hamba Allah (khalifatullah fil ardhi). Yaitu perpaduan dari nilai-nilai hablum minallah (hubungan manusia dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan manusia dengan manusia/agama dengan negara) bahkan hablum minal ‘alam (hubungan manusia dengan lingkungan/alam semesta).
Patut kita syukuri mayoritas Islam di Nusantara adalah Islam yang moderat dan toleran (Islam Sunni/Ahlussunnah Wal Jama’ah Annahdliyah). NU mewakili mayoritas itu. NU merupakan organisasi kemasyarakatan Islam satu-satunya yang pertama sekali menerima dengan bulat-mutlak Pancasila sebagai ideologi bangsa. Penerimaan azas tuggal itu bukan karena didorong apalagi dipaksa oleh rezim Soeharto/Orde Baru (OrBa) waktu itu. Melainkan karena kesadaran mendalam akan nilai-nilai Pancasila sebagai perwujudan nilai-nilai di dalam Al-Qur’an (keislaman) serta kesadaran akan nilai-nilai kebangsaan. Dus, KH. Achmad Siddiq (Rais Aam PBNU 1984-1989) sendiri tidak setuju kalau Islam itu dijadikan azas sebuah organisasi atau partai. Adalah keliru jika menjadikan Islam sebagai asas, karena justru akan merendahkan Islam sendiri. Islam adalah agama ciptaan Allah, sedangkan organisasi ciptaan manusia. Islam jauh di atas azas, karena Islam adalah Din-Allah (agama Allah). Seperti zaman dahulu, Masyumi yang mencantumkan azas Islam adalah keliru karena justru memelorotkan Islam dengan menyamakannya dengan berbagai isme-isme yang lain.
Namun, menurut KH. Achmad Siddiq, tokoh sentral yang mengarsiteki penerimaan NU terhadap Pancasila, mengatakan, “NU sendiri dalam Anggaran Dasarnya yang pertama diterangkan bahwa NU didirikan berdasarkan tujuan-tujuan, bukan azas. Kita tidak usah mempertentangkan NU dengan azas negara. Karena NU tidak berbicara mengenai azas. Melainkan tujuan.” Lalu sekarang apa tujuan NU? Ialah melaksanakan semua yang akan menjadikan kemaslahatan umat Islam dan umat manusia. Di samping NU juga selalu menerapkan konsep jalan tengah dalam berbangsa dan bernegara dan dalam segala urusan kemanusiaan (Islam dan Kebangsaan).
Dalam perilaku ketauladanan (amaliah uswah) mayoritas umat Islam Indonesia dalam hubungan berbangsa-bernegara selalu menerapkan pendekatan tiga (3) aspek yakni, hablum minallah, hablum minannas, hablum minal ‘alam yang termanifestasi dalam ukhuwah Islamiah (persaudaraan sesama muslim), ukhuwah Wathaniah (saudara sebangsa) dan ukhuwah Bashariah/Insaniah (saudara sesama manusia). Secara garis besar, pendekatan kemasyarakatan mayorits Islam Nusantara adalah tawassut dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan dengan tatharruf (ekstrimisme). Kemudian sikap tasamuh, yaitu sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Lalu sikap tawazun, yaitu sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara manusia dengan Allah Swt. dan antara sesama umat manusia. Dalam konteks Indonesia yakni hubungan yang harmonis antar agama dan negara atau Islam dan Pancasila.
Bakti dan bukti catatan peran kesejarahan NU sebagai ketauladanan perilakunya, dalam perjalanan serta perintisan kemerdekaan dan pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu dapat kita telusuri jejaknya. Sejak bermula dari lamanya penjajahan bangsa Indonesia oleh Penjajah Asing, Belanda dan Jepang, yang tak kunjung usai dan terbelahnya masyarakat Nusantara ketika itu (sampai menjelang tahun 1928), hingga melahirkan kesadaran kebangsaan seluruh pemuda dari persada Nusantara. Gaung Sumpah Pemuda “Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa” yaitu Indonesia Raya menggema di seluruh bumi pertiwi, sehingga menjadi diskursus di mana-mana dan semua kalangan pergerakan termasuk NU dan jagat pesantren pada umumnya. Salah satu butir yang menjadi persoalan adalah munculnya aspirasi negara bangsa sebagaimana diikrarkan dalam Sumpah Pemuda itu. Persoalan yang masih krusial bagi sebagian umat Islam, yang merasa berkewajiban mendirikan negara Islam. Karena persoalan ini menjadi bahan perbincangan serius di kalangan umat Islam, maka sebagai bentuk tanggungjawab sosial, persoalan itu dibahas dalam Muktamar NU ke 11 tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Abdul Ghopur, Ideologi Kaum Fundamentalis, Menjawab Kegalauan Persoalan Agaman & Negara, 2018).
Setelah diadakan penyelidikan baik yang bersifat historis bahwa kawasan Tanah Jawi atau Bumi Nusantara ini adalah sebuah negara yang diperintah oleh berbagai kerajaan Islam, yang di dalamnya berkembang tradisi dan kebudayaan Islam baik dalam bentuk kesenian, sistem pengetahuan, sistem politik dan perekonomian. Para Sultan atau Raja itu memerintah berdasarkan ajaran dan tradisi Islam (Nusantara), apalagi mereka mendapat bimbingan para wali (baca: Wali Songo dan wali-wali lainnya) dan ulama, sehingga di situ berjalanlah norma-norma Islam dalam pemerintahan.
Pemerintahan raja-raja Islam itu kemudian direbut oleh penjajah Belanda yang kemudian berganti menjadi pemerintahan Hindia Belanda di atas Bumi Nusantara ini. Walaupun Bumi Nusantara ini telah dijarah (dighasab) oleh Belanda tetapi wilayah ini tetap merupakan masyarakat Islam (Nusantara). Sebab, meski ratusan tahun telah dijajah Belanda, budaya Nusantara tetap berhasil dipertahankan dan mayoritas penduduknya Islam atau muslim. Apalagi dengan sikap kalangan ulama pesantren yang non kooperatif total terhadap semua budaya Belanda, maka tradisi Islam Nusantara nyaris tetap lestari, baik sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, hukum dan termasuk politik, tetap dipertahankan.
Penjajahan hanya numpang di permukaan, sementara basis masyarakatnya (secara antropologis) masih basis Nusantara dan basis Islam. Dalam pengertian itulah Indonesia ditetapkan sebagai Darul Islam yakni wilayah yang dihuni umat Islam. Perihal cita-cita Indonesia sebagai negara bangsa sebagaimana yang dirumuskan oleh para aktivis (muda) pergerakan itu dianggap sudah memenuhi aspirasi umat Islam, karena di dalamnya ada jaminan bagi umat Islam untuk mengajarkan dan menjalankan ajaran agamanya secara bebas. Dengan demikian umat Islam tidak perlu membuat negara lain yang berdasarkan syariat Islam, karena negara yang dirumuskan telah memenuhi aspirasi Islam (Abdul Mun’im DZ, “Piagam Perjuangan Kebangsaan,” 2011).
Melihat semangat pendirian Republik Indonesia pada masa-masa penjajahan sampai menuju Proklamasi RI, kita dapat mencontoh, mengulik, mengingat atau mengenang kembali ke 14 abad silam (lebih) bagaimana Rasullullah Muhammad saw. membangun peradaban suatu bangsa di Madinah (dulunya Yatsrib) sebagai daerah sistem kemasyarakatan bersifat majemuk atau plural. Ketika itu Nabi tak mendirikan negara Islam dan negara Arab, tetapi mendirikan negara Madinah. Pada masa itu penduduk Madinah sangat heterogen terdiri dari kaum Muslimin yang berasal dari suku Quraisy (Muhajirin) dan kelompok Ansor (Suku Aus dan Khazraj), selain itu Yahudi terdiri dari Bani Qoroudzhah, Bani Qoinuqa’ dan Bani Nadzir, dan kelompok Nasrani dari Najran. Dengan mereka itu, Nabi Muhammad membuat Piagam Madinah mengikat diri seabagai “ummatan waahidah“ (satu umat) yang menjunjung persamaan dan berjuang bersama dalam membela negara. Langkah spektakuler ini dicontohkan sendiri oleh Nabi ke dalam tindakan nyata yang berbentuk ketauladanan (uswatun hasanah). Seperti, besarnya rasa kasih sayang, tegas dan adil bersikap dan lain-lain. Dalam masyarakat Madinah setiap pemeluk agama mendapatkan hak hidup dan kebebasan menjalankan agamanya dengan seluas-luasnya (Said Aqil Siroj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara, Menuju Masyarakat Mutamaddin,” 2014).
Kembali kepada persoalan perjuangan kemerdekaan Indonesia, saat itu Indonesia sedang dijajah Belanda, sehingga dikategorikan sebagai daerah jajahan (Darul Harby) atau dalam bahasa militernya sebagai terra bellica (daerah perang), yang harus diperjuangkan agar menjadi terra liberum (daerah merdeka). Dengan langkah itu baru bisa diwujudkan Darus Salam (daerah yang aman/damai/tenteram) yang keamanan dan kesejahteraan bisa dicapai melalui perjuangan bersama (persatuan dan kesatuan). Dalam negara demikian ini, hukum dan nilai-nilai Islam meski tidak menjadi hukum (formal) negara, dapat dilaksanakan oleh umat Islam dengan bebas (lihat, Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, 2011). Dan, cukup menarik juga bahwa dasar pikiran ini pulalah yang menjadi dasar bagi NU untuk “mengakui” pemerintah pendudukan Jepang dan menerima Pancasila sebagi satu-satunya azas berorganisasinya NU sejak 1984.
Dalam hal lain, Rois Akbar NU, KH. M. Hasyim Asy’ari memberi catatan bahwa masyarakat muslim telah gagal bersatu sejak era Khalifah Abu Bakar, ketika kaum Muhajirin (imigran Makkah) dan Anshar (muslim Madinah) berebut supremasi politik. Beliau selanjutnya membandingkan kondisi politik ketika itu dengan politik pada masa awal kemunculan Islam. Beliau percaya bahwa pondasi politik pemerintahan Islam yang telah diletakkan oleh Nabi Muhammad saw., Abu Bakar dan Umar bin Khattab, mempunyai tiga tujuan, yaitu: 1. Memberi persamaan bagi setiap muslim; 2. Melayani kepentingan rakyat dengan jalan perundingan (musyawarah); 3. Menjaga keadilan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa: “Bentuk pemerintahan Islam tidak ditentukan. Ketika yang kita hormati Nabi Muhammad saw. meninggal dunia, beliau tidak meninggalkan pesan apa pun mengenai bagaimana memilih kepala negara … Jadi, pemilihan kepala negara tidak ditentukan, (dan umat Islam) tidak terikat untuk mengikuti suatu sistem. Semua (sistem) dapat dilaksanakan pada masyarakat Islam pada setiap tempat.”
Dalam penafsiran yang diberikan oleh Hadratussyeikh KH. Ahmad Siddiq menegaskan bahwa “Pendapat NU bahwa Indonesia (ketika masih dijajah Belanda) adalah Darul Islam sebagaimana diputuskan dalam Muktamar NU di Banjarmasin 1936. Kata: “Darul Islam” bukanlah sistem politik atau ketatanegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan (Islam), yang lebih tepat diterjemahkan wilayatul Islam (daerah Islam) bukan negara Islam. Motif utama dirumuskannya pendapat ini ialah bahwa di wilayah Islam, maka kalau ada jenazah yang identitasnya tidak jelas (non muslim), maka harus diperlakukan sebagai muslim. Di wilayah Islam, semua penduduk wajib memelihara ketertiban masyarakat, mencegah perampokan, pembunuhan dan sebagainya. Namun demikian, NU menolak ikut milisi Hindia Belanda, karena menurut Islam membantu Penjajah hukumnya haram. Bahkan untuk membangun masyarakat Islam, Penjajah harus disingkirkan.
Kekukuhan pendirian NU terhadap bentuk negara bangsa ini kembali dibuktikan, saat pertama kali datang Laksamana Maeda, Pimpinan tertinggi tentara Jepang 1943, menanyakan siapa yang bisa menjadi pemimpin tertinggi negeri ini untuk diajak berunding dengan Jepang. Dengan tegas KH. M. Hasyim Asy’ari, Rois Akbar NU, menjawab bahwa yang pantas memimpin bangsa ini ke depan adalah Soekarno/Bung Karno, seorang tokoh nasionalis terkemuka. Untuk itu ketika Indonesia merdeka, sesepuh NU itu juga merestui terpilihnya Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Karena itu KH. M. Hasyim Asy’ari membuat keputusan untuk membela Indonesia serta kepemimpinannya dari serangan Sekutu tahun 1945 (Peristiwa 10 Nopember 1945).
Karena komitmennya pada negara kesatuan republik Indonesia itu pula ketika Karto Suwiryo bersama sekelompok umat Islam lainnya memproklamasikan berdirinya Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI-TII), kalangan NU menolak untuk ikut mendirikan negara Islam untuk menandingi negara bangsa yang dipimpin oleh Bung Karno. Dengan adanya dualisme kepemimpinan nasional itu NU kembali mengukuhkan kepemimpinan Bung Karno dan mendelegitimasi kepemimpinan Kartosoewirjo. NU menempatkan DI-TII sebagai pemberontak (bughat) yang harus diperangi. Sebaliknya, menempatkan NKRI di bawah kepemimpinan Bung Karno sebagai negara dan pemerintahan yang sah dengan menetepakannya sebagai waliyul amri ad dzaruri bissaukah (Pemegang kekuasaan yang darurat dengan sebab mempunyai kekuatan), pemerintah darurat yang memegang kekuasaan secara sah.
Waliyul Amri adalah keputusan Konferensi/Musyawarah Alim Ulama NU yang dihadiri oleh para ulama lintas golongan se-Indonesia di Cipanas, Bogor, tahun 1954. Pada dasarnya keputusan ini bersifat diniyah (keagamaan) yakni masalah tauliyah (pelimpahan wewenang) menjadi wali hakim bagi wanita yang tidak memiliki orang tua atau saudara lelaki saat hendak melakukan pernikahan. Maka oleh keputusan ulama dinyatakan boleh dilakukan dengan melalui wali hakim. Keputusan ini termasuk untuk mengantisipasi adat Minangkabau yang matrilinial (mengambil garis ibu) sehingga dalam adat itu pernikahan seorang wanita diwakili oleh pamannya. Hal itu diperbolehkan, bahkan orang lain yang mendapatkan mandat dari negara yang sah boleh menjadi wali hakim sebagai wakil dari pemerintah. Namun demikian dibutuhkan adanya pemerintahan yang sah menurut syariah.
Sesuai dengan hasil ijtihad para ulama (NU), maka Presiden Soekarno dianggap sebagai presiden yang sah walau pun belum dipilih secara demokratis, tetapi keberadaannya telah diakui. Karena itu presiden Soekarna ditetapkan sebagai Waliyul Amri, yang menjadi wali hakim dan bisa melimpahkan tugasnya itu pada aparat negara atau orang lain yang dipercaya. Walau pun Waliyul Amri ini bersifat keagamaan, tetapi penetapan status pemerintah sebagai Waliyul Amri (pemerintah yang sah) dan sekaligus sebagai amirul mukminin (pemimpin orang-orang mukmin/yang percaya/Islam) itu secara tidak langsung mendeligitimasi klaim (pengakuan) Kartosoewirjo pimpinan Darul Islam (DI) yang mengklaim sebagai amirul mukminin. Dengan status itu Presiden Soekarno semakin mendapatkan legitimasi untuk menciptakan keamanan dengan menyingkirkan gerakan pemberontakan (bughat)/subversi yang dipimpin oleh Kartosoewirjo.
Waliyul Amri ini mempunyai implikasi lebih jauh dari NU, untuk umat Islam dan pemerintah republik Indonesia. Dalam Piagam Waliyul Amri ini juga berisi penegasan NU dan Umat Islam sebagai bagian tak terpisahkan dalam pemerintahan yang ada. Sebagai konsekuensi menerima negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila ini NU menyerahkan beberapa kedaulatannya pada pemerintah, antara lain mengenai kekuasaan politik, kekuasaan dalam menentukan wali hakim, dan kekuasaan itsbat (penetapan) awal atau akhir bulan Ramadhan. Sementara NU hanya mengambil bagian ikhbar (penyiaran) pada masyarakat. Namun NU dan kalangan Islam Ahlussunnah Waljama’ah menegaskan bahwa itsbat hendaklah dilakukan berdasarkan rukyatul hilal, bukan berdasarkan pada hisab. Prinsip ini terus berlaku hingga sekarang. Demikianlah peran kesejarahan, bukti dan bakti NU untuk negeri. Semoga mayoritas umat Islam tidak gagal paham.
Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA), Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)
Referensi:
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB),
Founder Indonesia Young Leaders Forum;
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)
Abdul Ghopur. 2018. Abdul Ghopur. Ideologi Kaum Fundamentalis, Menjawab Kegalauan Persoalan Agaman & Negara. Jakarta. Lembaga Kajian Strategis Bangsa. Hlm. 225-226.
Abdul Mun’im DZ. 2011.Piagam Perjuangan Kebangsaan. Jakarta. Setjen PBNU-NU Online. Hlm. 50-53 & 72-74.
DR. Said Aqil Siroj. 2014. Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara, Menuju Masyarakat Mutamaddin. Jakarta. LTN PBNU. Hlm. 60-62.
Ahkamul Fuqaha. 2011. Ahkamul Fuqaha, solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M. Surabaya. LTN PBNU & Khalista.