Gangguan atas peribadatan kelompok minoritas kembali terjadi. Jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Bandar Lampung dibubarkan saat sedang beribadah di dalam gereja (Minggu, 19/2). Aktor pembubaran adalah Ketua RT, Wawan Kurniawan, dan sejumlah warga setempat.
Peristiwa menyedihkan itu menandai berlanjutnya eskalasi gangguan dan penolakan atas peribadatan dan pendirian rumah ibadah. Sebelumnya, di awal tahun ini, terjadi beberapa gangguan, penolakan, pembubaran peribadatan di sejumlah daerah: 1) Penyesatan dan pelarangan aktivitas keagamaan Ahmadiyah oleh Forkopimda Sintang, Kalimantan Barat (26/1), 2) Penolakan dan pembubaran ibadah dialami Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Metland Cilengsi, Bogor (5/2), 3) Pelarangan beribadah Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Filadelfia Bandar Lampung (5/2), dan 4) Pelarangan pembangunan sarana peribadatan Ahmadiyah di Parakansalak berdasarkan kesepakatan Bupati dan Forkopimda Sukabumi (2/2).
Padahal, belum lama ini, dalam Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda, pada 17 Januari 2023, Di Kabupaten Bogor, Presiden Jokowi mewanti-wanti peserta Rakornas untuk menjamin kebebasan beribadah dan beragama warganya. Presiden Jokowi menegaskan bahwa kebebasan tersebut dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 29 ayat (2). Terjadinya eskalasi di beberapa daerah tersebut merupakan bentuk pembangkangan atas arahan Presiden.
Berkaitan dengan dinamika terbaru pelanggaran atas kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB), khususnya kasus GKKD, SETARA Institute menyampaikan beberapa pernyataan berikut.
Pertama, SETARA Institute mengecam keras terjadinya kasus pembubaran peribadatan di GKKD Bandar Lampung. Gangguan dan pembubaran atas peribadatan, yang dijamin oleh konstitusi, tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.
Kedua, dalam konteks kasus GKKD, SETARA Institute mengapresiasi pihak kepolisian, khususnya Polresta Bandar Lampung, yang memberikan jaminan keamanan juga Pemda yang memberikan izin sementara selama 2 (dua) tahun kepada GKKD Bandar Lampung, sambal mengurus perizinan pendirian rumah ibadah. Langkah akomodatif dan fasilitatif semacam itu perlu direplikasi di berbagai kasus penolakan rumah ibadah, peribadatan, dan sarana peribadatan di daerah lain, seperti di Kabupaten Bogor, Kota Cilegon, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sintang, Kota Depok, dan lain sebagainya.
Ketiga, Pemerintah Pusat hendaknya melakukan langkah progresif untuk membuktikan bahwa Pemerintah memiliki komitmen dan kewibawaan dalam menegakkan jaminan hak konstitusional warga negara atas kebebasan beragama/berkeyakinan dan kebebasan untuk beribadah, antara lain dengan 1) revisi PBM 2 Menteri, khususnya dengan mencabut syarat administratif dukungan 90 orang Jemaat dan 60 orang di luar Jemaat, 2) perubahan paradigma pengaturan peribadatan dan pendirian rumah ibadah dari pembatasan ke fasilitasi, dan 3) pergeseran peran FKUB ke perwujudan dan pemeliharaan kerukunan dengan memperluas fungsi-fungsi kampanye toleransi, penyediaan ruang-ruang perjumpaan lintas agama, serta mitigasi dan resolusi konflik yang mengganggu kerukunan antar agama, termasuk mediasi dan resolusi jika terjadi kasus penolakan peribadatan dan pendirian tempat dan rumah ibadah.
Keempat, SETARA Institute mendesak Pemerintah agar segera menarik perizinan pendirian tempat ibadah atau rumah ibadah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dengan mekanisme yang dipermudah dan disederhanakan, di Kementerian Agama, sebab urusan agama merupakan kewenangan absolut pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan sebagai urusan pemerintahan daerah.
SETARA Institute, 22 Februari 2023
Narahubung:
Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute, 0852-3000-8880
Bonar Tigor Naipospos, Wakil Dewan Nasional SETARA Institute, 0811-819-174