Akhir-akhir ini, begitu marak OTT Kepala Daerah, ada apakah?
Padahal ada 3 (tiga) instansi telah sangat sibuk dan kerja keras memberantas korupsi. Ada Polri dan Kejagung beserta jajarannya sampai daerah, juga ada lembaga adhoc KPK yang seharusnya dibatasi jangka kerjanya, namun nyatanya karena belum bisa betul-betul menghilangkan korupsi di Republik tercinta ini, KPK menjadi lembaga “tetap” yang entah sampai kapan dipertahankan.
Media Kompas hari ini mengupas dan sedikit menyinggung, bahwa korupsi karena politik transaksional yang tak terbendung terjadi pasca Reformasi.
Jadi, apa yang salah? Sistem politik dan demokrasi kita kah? Mari berefleksi dan berdialog dalam hati, untuk para politisi semua. Baik yang sudah berada di Senayan dan Istana, maupun yang masih berjuang serta menata strategi untuk mendapatkan giliran menikmati kekuasaan.
Sistem demokrasi Indonesia yang berlaku saat ini, dicerminkan oleh beberapa hal, antara lain cara pengambilan keputusan voting yang jadi andalan dan Sistem Pemilu one man one vote untuk memilih Presiden dan Kepala Daerah, anggota DPR/DPRD serta DPD.
Mungkin para politisi bisa disurvey, untuk bisa duduk dan berhasil menjadi Kepala Daerah dan Anggota DPR/DPRD habis berapa ya kira-kira?
Apakah ada yang gratis, betul-betul tidak mengeluarkan biaya?
Apakah pemimpin yang penuh hikmat dan kebijaksanaan harus dipaksa mengeluarkan biaya sangat besar untuk “jadi”.
Alur logikanya menjadi jelas, ketika untuk “jadi” perlu dana besar, mala yang setelah jadi tentu akan mencari ganti biaya politik itu. Nah, untuk mau “nyalon” lagi maka perlu “mencari-cari” dana dan anggaran lagi. Begitu seterusnya, kapan akan berhenti dan berakhir.
Bagaimana agar politik transaksional berhenti? Saya percaya tergantung sistem politik kita dan saya juga percaya, sistem politik dan demokrasi Pancasila akan menjawabnya.
Mari berefleksi agar korupsi yang disebabkan karena politik transaksional bisa berhenti.
Hidup rakyat!!!
Penulis: Eko Prabowo, jurnalis junior dan freelance