Jakarta – Hoax, fitnah dan narasi perpecahan sudah marak menjelang Pemilu 2024. Seluruh pihak hendaknya menghadang hal-hal tersebut. Pemilu juga mestinya jadi ajang adu gagasan dan ide.
Hal ini diungkapkan Ketua Aliansi Timur Indonesia, Manche Kota. Ia menegaskan bahwa sebenarnya bangsa ini dapat kabar baik, saat ada rekonsiliasi Prabowo masuk ke kabinet Jokowi usai hebat bertarung. Sayangnya, rekonsiliasi ini tak sampai ke bawah.
Manche melihat ada potensi keterbelahan masih akan terjadi di Pemilu 2024. Apalagi, dia menilai, ujaran kebencian dan hoax terus diternak di media sosial. Menurutnya, ini muncul tidak seketika karena dipakai oleh kepentingan politik.
“Pergerakan influencer di media sosial ini seragam. Agendanya terstruktur dan sepeti dimainkan. Sayangnya, influencer dan sebagian masyarakat menikmati hoax di media sosial. Ini kelompok kecil tapi gaungnya massif. Amat berbahaya,” tutur Manche saat diskusi yang digelar Barisan Aktivis Timur bertajuk Hate Speech, Hoax, dan Politik Identitas di Media Sosial, masih relevan dalam Kampanye Pemilu 2024, di Jakarta Selatan, Kamis (21/9).
Dia pun mengajak generasi muda untuk saring sebelum sharing semua informasi. Cara yang paling mudah, dengan check dan re-check ke media besar dan valid.
“Tetapi ini harus ada kesadaran bersama dari bawah. Jangan mengandalkan yang di atas. Para influencer dan pemilik akun besar memang memanfaatkan situasi ini. Cukup sudah pembelahan. Mari bersama kita bangun demokrasi yang sehat,” pesannya.
Sementara itu, pengamat politik Fernando Emas menyatakan, politik identitas dan panasnya persaingan antara pendukung calon sudah terjadi sejak 2015. Istilah yang merendahkan kemanusiaan, mulai muncul tahun itu.
“Kadrun, cebong dan kampret, istilah itu mulai muncul 2015, usai Pilpres 2014. Benih-benih hendaknya jangan diteruskan di Pemilu 2024,” kata Fernando.
Dia melihat, pada Pemilu 2024, ada niatan baik dari upaya partai politik dalam membangun poros kekuatan koalisi agar pembelahan akibat persaingan politik sepeti pemilu-pemilu lalu agar tak terjadi lagi. Yakni dengan membangun poros yang tidak hanya dari kelompok sejenis. Ada kombinasi nasionalis dan agamis.
“NasDem bareng PKS dan PKB, PDI Perjuangan ada PPP, Gerindra dan PAN. Semoga, dengan ini, polarisasi identitas mengatasnamakan agama, dan primodialisme, tak terjadi lagi,” harapnya.
Terciptanya istilah tak pantas dan politik tak beradab, lanjutnya, kudu dicegah semua pihak. Tokoh elite politik, tokoh agama, pemuda, influencer harus punya kesadaraan membangun keadaban, terutama di media sosial.
Fernando juga menyoroti bahwa hingga kini masih banyak influencer di media sosial, yang narasinya tidak sehat. Memanfaatkan ketenarannya untuk mencari popularitas dan uang, namun mengorbankan keutuhan bangsa.
Padahal, agar emokrasi sehat, yang harus diadu adalah gagasan, ide, dan program. Bukan menjatuhkan figur secara personal dan black campaign.
“Misalnya hoax tampar menampar yang menurut saya dimainkan elite dengan menjatuhkan personal calon. Memang sudah mulai panas. Ada yang terus mencoba menyebar hoax dan merusak dengan narasi keji,” tuturnya.
Dia berharap, Menkominfo bekerja maksimal menjaga media sosial sehat dengan narasi persatuan.
“Mestinya senang-senang dan happy. Ini kan pesta demokrasi,” tandasnya.
Di lain sisi, Pengamat Kebijakan Publik Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro menegaskan, politik gagasan dan keadaban harus dihidupkan di segala ruang. Diawali dengan menjaga harkat dan martabat manusia dengan menghindari penyebutan yang merendahkan.
Dari sisi kebijakan, Menkominfo punya kewenangan memblokir atau mematikan akun. Datanya, tahun 2021, Menkominfo menonaktifkan ratusan ribu akun. Menurutnya, perangkat Pemerintah dan negara amat cukup untuk menghentikan hoax dan narasi perpecahan di medsos.
Selain Menkominfo, Polri juga punya polisi cyber yang mampu melacak, memblokir, menindak para akun pelaku penyebar hoax dan pemecah belah.
“Instrumennya, SDM kita ada kok. Sangat bisa negara dan kepolisian utamanya, personelnya handal, alatnya canggih. Kalau perlu bikin Satgas khusus libatkan Kepolisian, Menkominfo, BSSN, dan laimnya. Capture semua peristiwa, selama proses Pemilu,” sarannya.
Satgas khusus ini, untuk menyasar para produsen hoax dan narasi pecah belah selama Pemilu.
“Demokrasi digital harus lebih sehat. Selain tentu mengandalkan nurani kita semua dari mukai elite politik dan masyarakat akar rumput,” pungkasnya