JAKARTA – Kemerdekaan pers mengalami fluktuasi di setiap rejim pasca reformasi. Di era Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Presiden, pers Indonesia mengalami tekanan yang tidak sedikit.
Pemimpin Redaksi (Pimred) Rakyat Merdeka, Ricky Handayani mengungkapkan, fluktuasi independensi pers pun selalu beriring dengan rezim yang berkuasa. Jika membandingkan kemerdekaan pers pasca reformasi hingga era Jokowi ini, hanya di era pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pers Indonesia mengalami kemerdekaan yang cukup nyaman.
“Saya pun telah melewati tiga masa pemerintahan, masa Megawati Soekarnoputri, masa SBY dan masa Jokowi saat ini. Di era Megawati Seokarnoputri, pers mengalami tekanan yang tidak sedikit. Tekanan keras pun terjadi. Kemudian, di era SBY boleh dikatakan pers heppi-heppi atau nyaman dan merdeka. Nah, di era Pak Jokowi ada tekanan, meski tak besar. Ya ada ombak-ombak kecil,” tutur Ricky Handayani, saat didapuk menjadi pembicara dalam Diskusi Publik Aliansi Mahasiswa Nusantara bertema Peran Media Massa Saat Pemilu: Mengawasi atau Diawasi?, di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, kemarin.
Selain Ricky, dalam diskusi ini hadir juga Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta sebagai pembicara, dengan dipandu moderator Christina Rumahlatu.
Dia melanjutkan, kemerdekaan pers di era SBY, pemerintah jarang sekali melakukan tekanan terhadap pers. Buktinya, aksi unjuk rasa yang pernah terjadi dengan membawa hewan berupa kerbau dan kambing dengan ditulisi Si BuYa, sebagai bentuk penghinaan terhadap Presiden waktu itu, tidak ditanggapi dengan penekanan.
Ricky melanjutkan, pasca reformasi paling tidak ada tiga kekuatan besar yang dapat dikategorikan sebagai lembaga superbodi, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pers.
“MK dan KPK itu pun masih ada yang mengawasi, ada DPR ada lembaga pengawas. Nah, pers, sama sekali tidak ada lembaga yang mengawasi. Bebas merdeka,” ujarnya.
Meski begitu, kehadiran Dewan Pers, menurut Ricky, dapat dijadikan sebagai wadah bersosialisasi dan juga wadah evaluasi diri bagi pers itu sendiri.
“Sebab, banyak sekali keresahan lembaga-lembaga dan masyarakat yang menyebut adanya media abal-abal versus media mainstream. Nah, Dewan Pers, bolehlah kita anggap sebagai Bapak kita yang saling mengingatkan. Sebab bagi pers, Dewan Pers itu bukan pengawas, pers memang tak mau ada yang mengawas-awasi,” ujarnya.
Dia setuju kalau Dewan Pers menjalankan fungsi menegakkan etika pers. Juga melakukan pembehanan kualifikasi wartawan dan pers Indonesia. Sehingga, istilah pers abal-abal pun tak perlu ada jika pers itu sendiri memenuhi persyaratan pers semestinya.
Maka Dewan Pers membentuk sertifikasi, untuk membuat aturan etika pers yang merdeka. Jangan sampai ada yang pers abal-abal, ada yang tidak abal-abal. Ada yang mengaku pers, tetapi tidak tahu Undang-Undang Pers dan KEJ. Tidak jelas kantornya, tidak jelas produk jurnalistiknya.
“Juga dilakukan kualifikasi. Maka ada namanya Ujian Kompetensi. Ada wartawan Muda, Madya dan juga Utama. Itu ada kualifikasi dan kompetensinya,” ujar Ricky.
Menghadapi maraknya media sosial yang seoalah berperan sebagai pers, itu sangat sumir. Tidak ada kepastian dalam informasi media sosial.
“Maka media mainstream seperti Rakyat Merdeka menjadi media pe-masti informasi. Hadir memastikan informasi yang simpang siur itu,” ujarnya.
Nah, dalam konteks demokrasi dan politik di Indonesia, Ricky mengingatkan, pada prinsipnya, pers itu berpihak kepada kepentingan masyarakat umum. Bukan berpihak kepada pemerintah dan bukan berpihak kepada partai politik. Sesuai Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sangat jelas disebutkan tugas dan fungsi pers itu.
“Meski begitu, masyarakat pembaca sendiri yang akan menilai pers pada akhirnya. Masyarakat pembaca juga yang memberikan sanksi kepada pers yang tidak beretika, masyarakat pembaca juga nantinya yang mendukung pers itu sendiri,” tutur Ricky.
Di tempat yang sama, Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menyampaikan, pers tidak berpihak secara politik. Sebab, pers itu berpihak kepada masyarakat dan nilai-nilai kebenaran.
“Kalau ada pers yang berpihak kepada parpol atau secara politik mendukung politisi dalam berpolitik tertentu, maka dia sudah tidak pers lagi. Dia itu tidak menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pers lagi, tetapi sudah sebagai partisipan politik tertentu,” tutur Kaka Suminta.
Dia menyampaikan, semua pers, terutama media televisi dan yang menggunakan frekwensi, harusnya tunduk dan melayani negara.
“Terutama media tivi sekarang ini, pemiliknya pimpinan parpol tertentu ya keberpihakannya ke pasangan tertentu. Ingat, pers itu memakai saluran negara loh, saluran publik. Maka Negaralah yang harus dilayani. Ingat, beda loh negara dengan pemerintah atau penguasa, beda juga negara dari parpol,” ujar Kaka Suminta.
Dia berharap, pers Indonesia dalam pusaran politik saat ini tetap teguh menjalankan tugas dan fungsinya sesuai UU Pers dan KEJ.
“Termasuk Dewan Pers, mereka harusnya bekerja terus menerus bicara dan melatih soal etika pers. Dewan Pers tidak memiliki fungsi menghukum atau menjatuhkan sanksi. Dewan Pers adalah bicara etika pers saja yang harusnya diperdalam,” pungkasnya.