BANDA ACEH – Teknologi keuangan atau financial technology (fintech) diperkirakan akan terus berkembang di Indonesia, termasuk di Aceh. Dengan demikian ke depan semua transaksi dan pengelolaan keuangan akan menggunakan sistem teknologi.
Demikian disampaikan Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Syamsu Rizal, Jum’at (22/3), usai mengisi materi kepada mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh di kampus setempat.
Sehingga, kata Syamsu Rizal, ia mengajak mahasiswa supaya menguasai teknologi, meski apapun profesi yang dijalaninya nanti. Karena kedepan semua sistem keuangan, baik transaksi maupun pengelolaan dana akan berbasis teknologi, salah satunya adalah Financial Technology (Fintech).
“Teknologi keuangan atau fintech itu biasanya berupa aplikasi/platform yang dapat menghubungkan antara peminjam dengan investor. Sehingga semua transaksi bisnis dapat dilakukan melalui teknologi tersebut, tanpa harus ada tatap wajah,” kata Syamsu Rizal.
Ia melihat potensi pemanfaatan fintech dalam jasa keuangan ini sangat besar, karena saat ini pengguna masih sedikit. Kedepan pelaku jasa keuangan dapat menyasar masyarakat kelas bawah supaya dapat menggunakan dan beradaptasi dengan sistem fintech.
“Sekarang untuk Indonesia perkembangan fintech sudah sangat pesat, terutama di kota besar. Namun untuk daerah-daerah harus terus ditumbuh dengan terus menggerakkan masyarakat untuk menggunakan Fintech,” ujar Syamsu Rizal.
Selain itu, Syamsu Rizal juga menambahkan, bahwa dalam keuangan syariah, Aceh masih terus berpotensi untuk berkembang. Sebab Aceh merupakan daerah dengan syariat islam dan didominasi oleh masyarakat muslim. Ke depan semua pihak harus membangun semangat dalam diri masyarakat Aceh untuk beralih ke keuangan syariah.
“Kemudian pihak perbankan harus berpihak kepada masyarakat kecil atau ke sektor produktif, bukan hanya menyasar debitur yang konsumtif,” jelasnya.
Fintech berekembang pesat mengikuti perkembangan dunia. Dengan adanya teknologi ini, kata dia, manusia ingin dimudahkan dalam hal transaksi, membeli sesuatu dalam hitungan detik, bahkan dalam mendapatkan dana instan.
“Perkembangan ini kita lihat karena kebutuhan. Memang dari 265jt penduduk mungkin baru sekitar 10% merupakan pengguna aktif Fintech,” kata dia lagi.
Saat ini, pihaknya harus peka pada literasi teknologi dan data. Dan data tersebut akan digunakan. Literasi itu harus di laksanakan hingga ke desa-desa. Sampai pada akhirnya transaksi digital akan sampai ke daerah terpencil sekalipun menggunakan QR sebagai sarana pembayaran. Sebagai statistik dasar, ada sekitar 80jt penduduk Indonesia menggunakan smartphone, jika 50% pengguna smartphone adalah pengguna aktif Fintech maka akan banyak sekali para pengusaha yang akan menyediakan layanan Fintech.
Dikatakannya, semua itu akan memudahkan pasar transaksi, namun di sisi lain hal tersebut juga akan meningkatkan potensi kriminal “kerah putih” dengan teknologi. Seperti perampokan data finansial digital, seperti kartu kredit, atau bahkan data dari server penyedia layanan fintech itu sendiri.
“Tehnisnya, kita akan edukasi Fintech mulai dari tingkat pendidikan terendah. Agar diharapkan masyarakat bisa saja kemudian hari menjadi pemain Fintech, bukan lagi hanya sebagai pengguna dalam bidang tersebut,” sambung dia.
Fintech di Aceh Harus Syariah Sesuai Kultur Wilayah
Selain itu, tambah Syamsu Rizal, Fintech juga harus melihat kultur serta adat istiadat suatu wilayah. Misalkan di Aceh, sudah jelas sistem finansial di Aceh ini harus Syariah. Selama ini diketahui, Fintech yang sudah ada dianggap “riba” oleh hukum atau Syariat Islam yang berlaku di Aceh.
“Nah maka akan kita coba lakukan bagaimana caranya dan tantangan bagi para penyedia layanan Fintech dan ahli Fiqih dalam menganalisa setiap pengadaan layanan Fintech,” terang dia lagi.
Pemerintah, saran Syamsu Rizal, agar dalam hal ini OJK dan BI harus berikan regulasi terhadap Fintech. Dampak dengan adanya Fintech ini, perputaran uang akan semakin cepat dan memberikan pertumbuhan ekonomi. Adopsi terhadap cara baru dalam teknologi baru sangat mendorong perputaran uang, sehingga akan menurunkan Bunga Bank, mengurangi biaya administrasi karena adanya Fintech. Bahkan dengan Fintech pinjaman akan lebih cepat dan lebih murah.
“Hanya saja kebijakan OJK jangan disalah-gunakan oleh penyedia Fintech, itu harus diantisipasi. Jangan sampai menjerat peminjam. Harus diperhatikan aturan yang dibuat oleh peminjam,” sambung dia.
Di level yang lebih jauh lagi, lanjut Syamsu Rizal, Fintech berkembang pada perdagangan saham dan Forex/Foreign Exchange (valuta asing). Pada intinya perkembangan Fintech ditujukan untuk kemudahan masyarakat. Tekhnologi tidak akan bisa dihambat.
“Kita harus mendukung dan pemerintah akan membuat regulasi agar tidak ada yang dirugikan. Itu semua menjadi tugas pemerintah. Bahkan saya sudah punya konsep sampai pada akhirnya perpindahan uang akan berjalan “cashless” untuk mempercepat birokrasi demi mempermudah layanan, dan lebih aman dan tertib untuk masyarakat. Dan Indonesia akan menjamin keamanan terhadap setiap Individu yang hidup dan tinggal di Indonesia,” pungkasnya.