Islam Ajarkan Nasionalisme
Oleh: Abdul Ghopur
(Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa)
Terkait viralnya pernyataan Sukmawati yang membandingkan perjuangan Nabi Muhammad Saw. dengan Bung Karno dalam memerdekakan negeri ini dari penjajah beberapa waktu lalu, saya kira pendapat itu keliru atau kurang pas dan perlu diluruskan. Baik kepada masyarakat yang mulai “resah” maupun kepada Sukmawati sendiri. Karena beda tempat, beda waktu, beda orang, dan beda seting sosialnya, yang intinya tak dapat dipersamakan dan dibandingkan secara linear (garis lurus). Sebagaimana orang membandingkan Pancasila dengan Al-Qur’an, tidak pas. Meskipun Pancasila dijiwai oleh substansi nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Nabi Muhammad Saw. lahir hampir 15 abad yang lalu, sementara Bung Karno lahir 1 abad lalu (lebih kurang). Jadi ada perbedaan waktu 14 abad. Nabi Muhammad Saw dilahirkan (diutus) untuk menyempurnakan akhlak manusia jahiliyah di Makkah dan sebagai penutup para nabi dan rasul dengan ajaran Islam yang dibawanya sebagai penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya. Sementara Bung Karno lahir pada masa kolonialisme Eropa (Belanda) yang berwatak menjajah (jahiliyah juga).
Meski sama-sama melawan watak jahiliyah, tapi membanding-bandingkannya saya kira merupakan pemikiran yang tidak tepat. Sebab, tak ada satu manusia pun di dunia ini yang disucikan (dimaksumkan) oleh Allah Swt. kecuali Nabi Muhammad Saw. bahkan keturunan (dzuriyat) nya pun tidak Allah jamin. Maka jangan heran jika ada yang mengaku keturunannya tapi berperilaku atau berperangai kasar, sebab, tidak dimaksumkan dan dijamin.
Tetapi ada hal menarik yang perlu kita gali dari kicauan Sukmawati terkait semangat (spirit) perjuangan para Founding Father, termasuk Bung Karno sendiri dalam melawan penjajah. Banyak elemen masyarakat baik muslim atau non muslim, tua atau muda, pria atau wanita, yang ikut andil dalam perjuangan mengusir penjajah. Kita semua tahu, bahwa Nusantara atau Indonesia ini mayoritas berpenduduk dan menganut agama Islam. Oleh karena itu wajar apabila umat Islam di Indonesia merasa memiliki andil besar dalam kemerdekaan Republik Indonesia. bahkan, kemerdekaan Republik Indonesia menurut sebagian besar umat Islam Indonesia adalah berpijak dari keinginan menerapkan hukum Allah Swt. tegak di bumi Nusantara ini. Oleh karena itu perjuangan kemerdekaan dilakukan. Dan, kita semua umat muslim pasti tahu, hukum Allah (hukmullah) dikabarkan/disebarkan atau dibawa dan diajarkan kepada kita semua melalui sosok paling mulia kekasih Allah (habibullah), pembawa risalah, Nabi Besar Muhammad Saw.
Sebab, dalam perjuangan kemerdekaan (bagi umat Islam) sudah barang pasti dilandasai nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. serta spirit perjuangan yang diwariskan oleh Nabi Muhammad Saw. Sebab, Rasul bersabda: “Orang yang mati terbunuh berjuang di medan pertempuran membela kemerdekaan atas nama Allah, jaminannya mati syahid dan syurga sebagai balasannya. Seorang ulama besar yang masyhur, maha guru, Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari juga pernah berijtihad bagi perjuangan kemerdekaan bangsa ini dengan mengatakan: “hubbul wathon minal iman” artinya, cinta tanah air sebagian dari iman seorang muslim.
Sampai di sini saya ingin menjelaskan (kepada Sukmawati) bahwa sesungguhnya ada keterkaitan antara perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia dengan ajaran Nabi Muhammad Saw. yaitu, perjuangan melawan kebatilan dan sikap “kekafiran” para penjajah. Dan, saya yakin, Bung Karno dan para pendiri republik serta ulama dan pejuang lainnya berpegang teguh pada prinsip dan dalil: “sesungguhnya telah diizinkan bagimu untuk berperang, karena kamu telah dieparangi.” Jadi, nasionalisme yang kita perjuangkan bukan nasionalisme yang bertentangan dengan ajaran agama (sekuler), melainkan nasionalisme yang dijiwai oleh spirit agama. Jadi, tidak ada pertentangan diantara keduanya, sebaliknya saling melengkapi. Jika ada yang masih mepertentangkan keduanya, berarti dia tak paham inti dari keduanya.
Bahkan sesudah era peperangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, dan memasuki babak baru pembentukan Republik Indonesia, yakni perumusan bentuk dan dasar negara, UUD, bahasa nasional dan bendera negara merah putih, peran ajaran (moral) agama tetap melekat. Bendera merah putih sendiri menurut riwayat Imam Muslim yang diriwayatkan dari Hamisy Qastalani yang memperoleh beritanya dari Jubair bin Harb, Ishaq bin Ibrahim, Muhammad bin Mustana, Ibnu Basysyar, Muaz bin Hisym, Qatadah, Abu Qalabh, Abi asma Ar Rahaby, Tsauban bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala telah memperlihatkan dunia kepadaku, sehingga aku melihat timur dan baratnya. Kerajaan dunia akan sampai kepada umatku seperti apa yang diperlihatkan kepadaku. Dan Aku dianugerahi perbendaharaan yang indah, merah dan putih.” Demikianlah Sang Dwi Warna bendera merah putih kita merupakan panji atau bendera Rasulullah Saw. yang dijadikan bendera Negara Republik Indonesia (lihat, Syaikh KH. Sa’adih al-Batawi & Dr. Ir. Nandang Najmul Munir, MS, Islam & Restorasi Pancasila, 2018, hlm. 62).
Sampai di sini, kira-kira, Sukmawati paham sejarah tidak pertanyaannya? Saya tak bermaksud mengajari, tapi memberikan sedikit pemahaman sejarah. Saya juga berusaha memahami maksud baik hati Sukmawati dalam memberikan semangat kebangsaan (nasionalisme) kepada generasi muda. Akan tetapi bahwa pembelahan dan pembedaan terhadap semangat perjuangan mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan Indonesia dari ajaran agama Islam (membedakan Nabi Muhammad Saw. dengan Bung Karno) merupakan cara pikir yang keliru (setidaknya menurut saya).
Tapi biar bagaimanapun, saya adalah satu dari jutaan orang Indonesia pengagum Bung Karno. Oleh karena itu, kritik sayang yang saya lemparkan kepada Sukmawati adalah bagian kecintaan saya terhadap salah satu Founding father ini. Akhirnya, saya ingin mengutip syair Arab (Mahfudzot) yang sudah tak asing lagi di telinga kalangan pesantren, yakni: ”Salamatul-insan, fii hifdzil-lisan (selamatnya seseorang, karena pandai menjaga lisannya).”[]