Jakarta – 19 November 2019. Di tengah berlarut-larutnya Karhutla, pemerintah memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada hanya memadamkan api, yaitu menangani warga korban asap yang menghirup asap beracun PM2.5 yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan. Sudah selayaknya penegakan hukum tidak hanya sekadar mengejar tanggung jawab pemilik lahan atau konsesi, tetapi juga pertanggungjawaban atas korban asap beracun. Karhutla mungkin berhenti saat ini (sementara) akan tetapi dampaknya akan terus berlanjut sampai dengan 20-30 tahun kedepan. Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Media “Asap Beracun Karhutla 2019, Siapa yang Bertanggung Jawab?” di Jakarta
Hingga tahun 2019, Madani menemukan titik panas (hotspot) setidaknya di 836 perkebunan sawit, 247 konsesi HTI, 170 konsesi HPH, dan 111 area PIAPS yang belum diberikan izin perhutanan sosial. Terdapat perusahaan yang terbakar berulang dari tahun 2016 hingga 2019, ditunjukkan dengan adanya bekas terbakar. Hal ini mengindikasikan perlu terbosan untuk menghentikan bencana asap.
“Dapat dikatakan bahwa 1.253 perusahaan patut bertanggungjawab terhadap gas beracun PM2.5 selama periode Karhutla 2019,” ujar Fadli, GIS Specialist Madani.
Madani dan Kelompok Advokasi Riau (KAR) melakukan kajian secara khusus untuk Provinsi Riau, di mana terdapat titik panas terbanyak selama periode pengamatan Januari-Agustus 2019, yaitu 13.656 titik panas. Berdasarkan analisis tumpang tindih atas data titik panas yang dikeluarkan oleh LAPAN dan VIRS pada September 2019, ditemukan bahwa titik panas terbanyak di Provinsi Riau terdapat di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu dan Rokan Hilir.
Banyaknya titik panas di Riau sangat membahayakan karena sebagian besar wilayah Riau adalah lahan gambut. Hasil kajian spasial Madani menunjukkan bahwa sebagian besar titik panas di Riau terjadi di wilayah gambut dengan kedalaman 0,5 hingga 2 meter atau wilayah gambut dangkal hingga menengah.
Titik panas di Riau juga banyak terjadi di wilayah prioritas restorasi gambut, sebagian besar bahkan terjadi di wilayah prioritas restorasi dengan zona lindung. Total luas indikasi area terbakar di wilayah prioritas restorasi gambut di Riau mencapai 49.117,9 hektare, dengan rincian di wilayah prioritas restorasi gambut tidak berkanal (zona lindung) seluas 16.467,2 hektare, wilayah kubah gambut (zona budidaya) sekitar 16.027,9 hektare, gambut berkanal (zona lindung) sekitar 7.866,7 hektare, dan wilayah pasca-kebakaran 2017 seluas 8.756,1 hektare.
Dari investigasi yang dilakukan di 14 desa di Riau, 11 desa mengalami kebakaran pada periode April hingga 20 September 2019, termasuk 7 desa yang menerima program restorasi gambut BRG, di mana 5 desa pernah mengalami kebakaran sebelumnya sedangkan 2 desa tidak pernah mengalami kebakaran sebelumnya.
Asap beracun PM2.5 yang timbul akibat Karhutla menyebabkan meningkatnya penyakit yang diderita masyarakat korban terdampak. Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Provinsi Riau, proporsi terbesar penyakit yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan bencana kabut asap yang menyertainya terhitung dari Januari 2014 hingga Agustus 2019 adalah batuk, ISPA, pneumonia, infeksi kulit, TB paru dan beberapa penyakit degeneratif lainnya. Jumlah kasus ISPA di Provinsi Riau paling tinggi dibandingkan penyakit lainnya dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Sementara itu, di tahun 2018, 31,4 persen penderita pneumonia pada balita di Indonesia berada di provinsi Riau, yang terbesar di Kabupaten Siak (86,9 persen), disusul Kabupaten Pelalawan (72,8 persen), Kabupaten Kota Dumai (64,4 persen), dan kepulauan Meranti (59,6 persen).
Terganggunya kesehatan masyarakat akibat Karhutla yang menimbulkan asap beracun PM2.5 adalah tanggung jawab dari para pemilik lahan dan konsesi yang lahannya terbakar selain pemerintah. Sehingga mereka pun harus bertanggung jawab terhadap korban asap.
“Selain itu, mitigasi Karhutla dan penanganan korban asap harus menjadi prioritas utama pemerintah dan terintegrasi ke dalam rencana pembangunan daerah dan nasional,” tambah Teguh.
Sehingga pemerintah harus mempersiapkan infrastruktur untuk menangani korban asap beracun, baik saat bencana terjadi maupun dalam jangka panjang, termasuk langkah-langkah mitigasinya. Pemerintah pun selayaknya merancang program sosialisasi bahaya asap dan rencana tanggap bencana. Di samping itu, wajib bagi wilayah terdampak untuk memiliki fasilitas kesehatan secara gratis bagi para korban yang dibiayai oleh APBN/APBD. Yang terakhir, pemerintah harus mempercepat dan memperkuat upaya restorasi gambut pasca 2020 serta melaksanakan review izin dan penegakan hukum lingkungan untuk memberantas Karhutla dari akarnya sehingga cita-cita Presiden Joko Widodo untuk menciptakan SDM berkualitas unggul dapat terwujud.