JABAR – Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Kharisma Cicurug Sukabumi menggelar diskusi publik bertema “Radikalisme dan Populisme di Masyarakat Indonesia” di Nipah Valley, Kalaparea, Nagrak Sukabumi Jabar, 30 Januari 2020.
Kegiatan diskusi tersebut dihadiri Dr. Bambang Wahyu (akademisi/Anggota KPU Kota Bogor) dan Dr. Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag, M.Pd (Direktur Research and Literacy Institute), serta segenap sekitar 50 orang perwakilan dari berbagai kalangan baik mahasiswa, organisasi kepemudaan, organisasi masyarakat dan masyarakat umum.
Dalam kesempatan tersebut, Dr. Bambang Wahyu lebih banyak memaparkan mengenai populisme di Indonesia. Mengawali pemaparannya, Bambang menyampaikan tentang definisi populisme sebagai klaim kelompok elite kekuasaan yang memanfaatkan silent majority untuk mengganggu keberadaan politik mainstream atau penguasa.
Istilah Silent majority sendiri dipopulerkan oleh mantan Presiden AS, Ricard Nixon sebagai sekelompok besar masyarakat di suatu wilayah yang bertindak pasif atau cenderung diam.
Dalam kesempatan tersebut Bambang juga memaparkan beberapa penyebab terjadinya populisme di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Bambang menyampaikan bahwa populisme tidak hanya terjadi akibat adanya ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan, namun juga dipengaruhi oleh faktor lainya.
“Banyak yang memandang bahwa populisme muncul dari ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan. Meskipun benar, namun tidak selamanya demikian. Kemunculan populisme juga disebabkan adanya fantasi sosial,” ungkapnya.
Menyinggung keterkaitan populisme dan radikalisme, Bambang menyampaikan bahwa keduanya sama-sama memanfaatkan keberadaan floating mass, yakni berisi kelompok masyarakat yang tidak memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan yang bagus. Kelompok ini kemudian dijadikan sebagai akses untuk menyebarkan informasi hoaks yang memecah belah.
Sementara itu, Dr. Mulyawan S. Nugraha memulai paparannya dengan menyampaikan adanya pergeseran makna radikal di masyarakat.
“Saat ini istilah radikal selalu dipandang terkait dengan agama, padahal tidak demikian. Radikal berasal dari kata “radix” yang berarti akar, sehingga perilaku radikal harusnya dapat terjadi di semua lini kehidupan. Istilah radikal sendiri harusnya memiliki arti yang positif, karena para pelaku radikal melakukan pendalaman hingga ke akar,” jelasnya.
Mencoba meluruskan, Mulyawan menyampaikan bahwa yang menjadi sesuatu yang berbahaya adalah radikalisme,bukan radikal. Jika radikal merupakan berpikir untuk mencari akar masalah, namun radikalisme lebih menekankan pada kecenderungan untuk menyelesaikan segala sesuatu masalah dengan cara yang ekstrem. Radikalisme inilah yang kemudian dapat mendorong munculkan tindakan seperti terorisme.
Mulyawan menyampaikan bahwa saat ini radikalisme di Indonesia lebih banyak terjadi di kelompok agama Islam. Radikalisme oleh kelompok Islam tersebut ditandai dengan adanya keinginan untuk mendirikan syariat Islam di Indonesia.
Lebih lanjut, Mulyawan menyampaikan penyebab adanya kelompok di golongan umat Islam yang menginginkan pendirian syariat Islam di Indonesia.
“Keingingan sebagian kelompok Islam untuk mendirikan syariat Islam disebabkan oleh beberapa hal, yakni adanya anggapan bahwa Islam adalah solusi serta ketimpangan dan ketidakadilan yang muncul diyakini diakibatkan oleh masyarakat yang jauh dari ajaran agama,” tambah Mulyawan.
Mulyawan kemudian menyampaikan cara untuk terhindar dari radikalisme, yakni dengan belajar, karena radikalisme seringkali muncul akibat dari kurangnya pemahaman masyarakat. Untuk itu, para generasi muda, baik dari mahasiswa maupun yang tergabung di organisai masyarakat dan organisasi kepemudaan diharapkan lebih banyak belajar sehingga mampu mengoptimalkan peran sertanya sebagai garda terdepan melawan radikalisme.
Menutup pemaparan, Mulawan berpesan bahwa melawan radikalisme tidak dapat dilakukan dengan menggunakan kekerasan, tapi harus mengedepankan dialog serta komunikasi sosial yang humanis.