Pandemi COVID-19, selain berdampak terhadap kesehatan, juga berdampak terhadap kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Pemerintah diminta tegas dalam mengambil kebijakan agar dampak tersebut dapat diminimalisir. Hal tersebut mengemuka dalam diskusi virtual yang diadakan oleh Lembaga Kajian Dialektika (LKD) yang mengangkat tema Perubahan Ekstrim Peta Sosial Indonesia Pasca Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, Selasa (21/04).
Dalam diskusi yang dipandu oleh Direktur LKD, Muhammad Khutub, hadir sebagai narasumber adalah Imam M Sumarsono (Jurnalis), Suprayitno (Pengamat Kebijakan Publik), Drs. KH. Ridwan Sukmana (Komisi Hukum MUI Pusat), Pdt. Darwin Darmawan (Majelis Sinade Wilayah GKI Jawa Barat), dan Muhibbuddin Ahmad (Pengamat Ekonomi).
Imam mengatakan COVID-19 selain memperlihatkan jumlah korban, di sisi lain juga memperlihatkan performa Pemerintah dalam menangani pandemi tersebut. Ia mencontohkan bagaimana performa otoritas Vietnam dan China yang berhasil menangani COVID-19 karena pemerintahan yang tegas Berbeda dengan India, yang menurut Imam kebijakan yang diambil Pemerintah tersebut hanya mengejar popularitas. Sedangkan Amerika Serikat lebih parah lagi, tidak terciptanya sinergi antara Presiden dengan Kepala Daerah dalam menangani COVID-19, membuat jumlah korban terinfeksi semakin banyak.
Untuk itu, lanjut Imam, yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah kebijakan yang tegas dari Pemerintah dalam penanggulangan COVID-19. “Yang kita butuhkan sekarang ini adalah satu kebijakan yang bisa membuat penanganan COVID-19 berjalan cepat. Kita mau menyelesaikan seperti apa, model siapa, tidak bisa spekulatif,” katanya.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Suprayitno mengatakan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diambil oleh Pemerintah saat ini merupakan pilihan yang tepat. Namun perlu ditekankan bahwa PSBB akan sukses apabila ada sinergi antara Pemerintah dengan warganya. “PSBB adalah kebijakan yang paling tepat. Untuk mengukur efektifitasnya, tidak bisa dilihat dalam waktu satu dua hari, tetapi setidaknya 14 hari bahkan lebih,” kata Suprayitno.
Di kesempatan yang sama, Drs. KH. Ridwan Sukmana mendukung langkah MUI yang telah mengeluarkan fatwa terkait protokol beribadah di tengah pandemi COVID-19. Protokol itu, kata Ridwan, sesuai dengan apa yang telah dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Khatab. “Maka berdasarkan sejarah tersebut, berdasarkan sabda Rasulullah, berdasarkan perilaku Sahabat, maka disusunlah protokol tata cara menghadapi pandemi COVID-19,” kata Ridwan.
Ridwan menyebut isi protokol tersebut diantaranya berkaitan dengan penghormatan terhadap jenazah korban COVID-19. Ia mengajak masyarakat memperlakukan jenazah korban secara manusiawi. Tidak ada lagi penolakan terhadap jenazah seperti yang terjadi di beberapa Daerah beberapa waktu ke belakang.
Dalam kesempatan itu juga, Pdt. Darwin Darmawan mengajak masyarakat optimis menghadapi COVID-19. Menurutnya, peradaban tidak akan hancur apabila masyarakat mampu merespon pandemi ini dengan kreatif.
“Respon kreatif itu tidak semata-mata kekuatan fisik, biologis, atau senjata, tetapi spiritual,” tegas Darwin. Menurut Darwin Pancasila memiliki nilai yang bisa memberi respon spiritual yang kreatif.
Dampak COVID-19 di sektor ekonomi pun menjadi perhatian Muhibbuddin Ahmad. Muhib menjelaskan bahwa sektor pariwisata menjadi sektor yang paling terdampak dengan adanya pandemi COVID-19. Selain pariwisata, sektor lain adalah manufaktur, bahan bangunan dan alat berat, properti dan konstruksi, dan farmasi.
Pemerintah, menurut Muhib, perlu membuat kebijakan-kebijakan prioritas, yaitu meningkatkan kepercayaan insan medis dan masyarakat, ketahanan rumah tangga, ketahanan UMKM, penguatan sektor perbankan, penguatan instrumen kebijakan fiskal, penguatan sektor moneter, dan pendanaan bantuan darurat.
Kegiatan diskusi diharapkan dapat meliterasi publik, terkait keyakinan masyarakat terhadap Pemerintah dalam mengantisipasi berbagai dampak buruk yang ditimbulkan akibat penyebaran virus Covid-19, baik di sektor ekonomi maupun kehidupan sosial bermasyarakat.