Jakarta, – Institute for Essential Services Reform (IESR), Madani Berkelanjutan,
ICLEI-Local Governments for Sustainability Indonesia (ICLEI Indonesia), WALHI, dan Thamrin
School mendesak pemerintah untuk lebih ambisius memenuhi amanat Persetujuan Paris dalam diskusi daring dengan tema “Indonesia Mampu Mencapai Netral Karbon Sebelum 2070”.
Lemahnya ambisi Indonesia untuk mencapai netral karbon (net zero emission) pada tahun 2050
tercermin dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan
Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050, LTS-LCCR 2050)
yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dokumen
LTS-LCCR 2050 menyebutkan bahwa untuk menjaga agar suhu bumi tidak naik melebihi 1,5℃,
pemerintah menargetkan netral karbon di tahun 2070. Hal ini berarti Indonesia terlambat 20
tahun dari target yang ditentukan dalam Persetujuan Paris.
Yuyun Harmono , Manajer Kampanye Keadilan Iklim, WALHI, menegaskan bahwa
keterlambatan ini akan merugikan banyak negara berkembang, utamanya bila perdagangan
karbon dan carbon capture yang dipilih menjadi salah satu cara untuk mencapai “net zero”.
“Selain itu banyak celah untuk mengelak pengurangan emisi yang ambisius seperti offset
perdagangan karbon ke negara berkembang, bukan transformasi secara struktural model
bisnis. Jika ini dipilih maka negara berkembang akan nantinya mendapat beban ganda yaitu
beban offset dari negara maju dan target pengurangan emisi di negara masing-masing,” jelas
Yuyun.
Lebih lanjut, LTS-LCCR 2050 memaparkan bahwa dari 5 sektor penyumbang emisi yang
menjadi fokus Nationally Determined Contribution (NCD), hanya sektor kehutanan dan lahan lainnya (FOLU) yang akan mencapai net sink pada tahun 2030. Sektor energi sendiri baru akan
mengalami puncak emisi tertinggi (peaking) pada tahun 2030.
Pemerintah Indonesia Perlu Tetapkan Target Lebih Ambisius di Sektor Energi dan
Kehutanan. Hasil analisa IESR menunjukkan bahwa Indonesia mampu mencapai netral karbon sebelum
2050, di antaranya dengan menekan emisi GRK di sektor pembangkit listrik, transportasi dan industri yang berkontribusi total 406.8 juta ton CO2e atau sekitar 93% dari total emisi GRK
sektor energi di tahun 2015.
“Indonesia mampu meningkatkan bauran energi primer dari energi terbarukan menjadi 69%
pada tahun 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi
minimal 24 GW pada tahun 2025, membangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan
pada tahun 2050, dan menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025 serta mempensiunkan PLTGU lebih awal,” tandas Deon Arinaldo , Manager Program Transformasi
Energi, IESR.
Deon juga memaparkan bahwa berbagai pemodelan global untuk mencapai target Persetujuan
Paris menunjukkan upaya lebih ambisius akan bisa membuat setidaknya bauran batubara pada
pembangkit berada di sekitar 5-10% pada tahun 2030. Hasil lainnya menyatakan setidaknya
bauran bahan bakar bersih pada transportasi mencapai 20-25% pada tahun 2030 dari total
permintaan energi sektor transportasi. Namun dokumen LTS-LCCR 2050 menargetkan bahwa
dengan skenario ambisius berdasarkan Persetujuan Paris (LCCP), bauran energi primer akan
diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8%, dan energi terbarukan hanya 33% di tahun 2050.
Jika dibandingkan dengan target NDC saat ini, kenaikan target energi terbarukan hanya
sebanyak 10% dalam 25 tahun.
Sementara itu, dalam dokumen yang sama, di sektor kehutanan, skenario paling ambisius
(LCCP) menargetkan laju deforestasi hutan alam tahun 2010-2030 sebesar 241 ribu ha per
tahun dan 2031-2050 sebesar 99 ribu ha per tahun. Hal ini berarti Indonesia masih membenarkan konversi hutan alam sekitar 7 juta ha atau lebih dari 12x Pulau Bali pada periode
2010-2050. Karena Indonesia telah kehilangan sekitar 4,9 juta ha hutan alam pada 2010-2020
,
kuota deforestasi hutan alam Indonesia selama 30 tahun ke depan hanya tinggal sekitar 2 juta
ha atau 71 ribu ha per tahun.
Pemerintah Indonesia telah berhasil menurunkan angka deforestasi hutan alam selama 4 tahun berturut-turut, namun ini belum cukup.
“Agar Indonesia dapat mencapai netral karbon sebelum 2070, Indonesia harus mengadopsi skenario paling ambisius dan menargetkan kuota deforestasi yang lebih rendah dalam Updated
NDC, bahkan hingga nol karena sisa kuota deforestasi hingga 2030 bisa dibilang sudah kita
habiskan di dekade lalu,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan
Madani Berkelanjutan.
Memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru hingga meliputi hutan alam tersisa
akan membantu Indonesia menekan deforestasinya. “Perhitungan awal Madani, ada sekitar 9,4 juta ha hutan alam di luar konsesi, daerah alokasi
perhutanan sosial (PIAPS), dan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) yang
harus segera dilindungi dari pemberian izin baru agar tidak terdeforestasi,” tambah Anggalia
Putri.
Selain itu, melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi juga
akan membantu memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan.
Melindungi ekosistem gambut secara menyeluruh, mendorong realisasi target restorasi gambut
yang telah ada, dan memperluas pelaksanaan restorasi gambut ke area yang terbakar pada kebakaran hebat tahun 2019 juga dapat membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink
pada 2030. Hampir setengah juta hektare (498.500 ha) ekosistem gambut yang terbakar pada
2019 belum masuk sebagai target restorasi gambut 2016-2020. Oleh karena itu, seluruh
ekosistem gambut yang terbakar pada 2019, baik di dalam maupun di luar konsesi, harus
masuk ke dalam target restorasi gambut 2021-2024 agar kebakaran di area tersebut tidak
berulang.
Pemerintah Daerah Berpeluang Besar Implementasi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan
Iklim. Upaya yang lebih serius dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus tergambar dalam
LTC-LCCR 2050, sehingga, terutama tingkat daerah, semakin banyak pemerintah daerah yang
berkomitmen kuat mengimplementasi pembangunan daerah yang memperhatikan aspek sosial,
ekonomi dan lingkungan serta menuju pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
ICLEI Indonesia meyakini bahwa Pemerintah Indonesia, dengan dukungan dari 34 pemerintah
provinsi dan 514 pemerintah kota/kabupaten mampu mencapai karbon netral sebelum 2070
dengan memperkuat tata kelola multi level, khususnya pelibatan dewan perwakilan rakyat di
tingkat nasional maupun daerah serta pelaku bisnis atau pihak swasta untuk menetapkan target
yang optimis dan lebih ambisius.
“Beberapa pemerintah daerah yang ICLEI Indonesia dampingi, kepala daerahnya telah
berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim, baik itu dari aksi adaptasi maupun mitigasi.
Mereka yakin bahwa isu dan agenda perubahan iklim adalah sebuah keniscayaan yang harus
direspon secara positif,” ujar Ari Mochamad, Country Manager ICLEI Indonesia.
Berdasarkan laporan dari UN-Habitat, 70% emisi gas rumah kaca (GRK) berasal dari aktivitas
perkotaan (pemerintah daerah). Data ini menjadikan pemerintah daerah sebagai global hotspot
dari perubahan iklim. Meskipun demikian, pemerintah daerah berpeluang besar menjadi
pemimpin (leader) dalam membatasi dampak negatif perubahan iklim. Pemerintah Indonesia
perlu menangkap peluang baik ini dengan menempatkan pemerintah daerah sebagai “Jantung
Strategi Nasional” dalam rangka mendukung komitmen nasional yang tertuang dalam NDC dan menuju netral karbon di masa depan.
Dalam tataran implementasi, pemerintah nasional perlu memberikan perhatian dan dukungan
kepada pemerintah daerah dengan menyiapkan perangkat pendukung (enabling environment)
dan kemudahan birokrasi dalam mengakses pembiayaan iklim. ICLEI Indonesia merekomendasikan penyusunan perangkat pendukung secara sistematis, terstruktur, selalu diperbaharui dan mudah dimengerti oleh pembaca dan/atau pengguna (utamanya staf
pemerintah daerah) dari ragam latar belakang pendidikan.
Dukungan ini akan menjawab beberapa tantangan yang pemerintah daerah hadapi seperti,
pertama, lemahnya kapasitas sumber daya manusia dalam melakukan perhitungan
pengurangan emisi GRK dan/atau pemantauan terhadap tingkat adaptasi dan kerentanan serta kelembagaan yang menangani perubahan iklim secara umum masih bersifat ad-hoc. Kedua,
ketersediaan panduan dalam menerjemahkan strategi, rencana, program dan kegiatan yang
bersifat transformatif serta pemilihan teknologi hijau yang tepat guna masih terbatas. Ketiga,
belum adanya indikator yang seragam untuk melacak anggaran untuk program dan kegiatan
yang sedang dijalankan serta kemudahan birokrasi dalam mengakses pembiayaan (hibah atau pinjaman) dari pihak ketiga.