JAKARTA – Buruh KSPI yang mengklaim akan menurunkan massa kurang lebih 10.000 buruh di 20 Provinsi dan mendesak 4 tuntutan tersebut justru menjadi polemik yakni berimbas menekan fundamental keuangan perusahaan.
“Demo tanpa henti justru menekan fundamental keuangan perusahaan dan membuat mereka kian berdarah di tengah upaya untuk survive di tengah pandemi,” tegas Desa Apridini, hari ini.
Menurutnya, demo buruh sebagai upaya mencari jalan perundingan untuk negosiasi kepentingan sebenarnya dapat menjadi titik tolak Pemerintah untuk dapat memanfaatkan momentum dan mencari fakta sebanyak-banyaknya guna merumuskan strategi taktis di sektor industri dan masalah perburuhan.
“Agar masalah upah tak jadi isu laten dan Ekonomi Indonesia bisa bergerak maju,” sebutnya.
Dikatakannya, jika dilihat dari perspektif ekonomi politik aksi buruh ini menunjukan posisi buruh sebagai pressure group / kelompok penekan untuk memperjuangkan kepentingan dengan posisi buruh yang memiliki daya tawar kekuatan massa untuk menekan pemerintah lewat kebijakan maupun pemodal /pengusaha dalam hal ini mandegnya produksi diakibatkan aksi buruh. Lebih dalam lagi, tuntutan buruh pada aksi kali ini terbilang khusus, salah satunya isu korupsi BPJS ketenagakerjaan yang bisa menjadi bola panas dan menyerang pemerintah.
“Dari perspektif investasi aksi buruh tentu menjadi PR besar pemerintah Indonesia untuk bersaing secara kompetitif setidaknya di tingkat ASEAN, adanya aksi buruh menunjukan kurang kondusifnya iklim investasi di Indonesia. Sebab investor tentu mencari negara dengan upah SDM murah dengan kualitas optimal,” jelasnya.
Untuk diketahui, demo tersebut menyampaikan empat tuntutan aksi buruh :
1. Pembatalan UU Omnibus Law No.11 Klaster Tenaga Kerja
2. Upah Minimum Sektoral Kabupaten /Kota tetap diberlakukan
3. Menolak Pembayaran THR secara cicilan
4. Mengusut Tuntas Korupsi Bpjs ketenagakerjaan