Berita hoaks atau bohong masih menjadi tantangan di tengah kenaikan pengguna internet dan media sosial. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah hoaks yang tersebar di berbagai platform di Indonesia cenderung meningkat.
Kondisi itu tentu saja meresahkan banyak orang dan menimbulkan konflik serta perpecahan bangsa. Bahkan, hoaks dan ujaran kebencian dapat memicu aksi terorisme, terutama karena tingkat literasi masyarakat yang belum merata di Indonesia.
Dari data yang dihimpun Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), jumlah hoaks yang tersebar di Indonesia pada 2019 mencapai 1.221 hoaks. Kemudian, pada 2020 meningkat menjadi 2.298 hoaks.
Facebook sudah menindak 22,1 juta konten ujaran kebencian pada Juli hingga September 2020. Sekitar 95 persen di antaranya diketahui secara proaktif melalui sistem kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI).
Sementara itu, berdasarkan riset Mafindo, hoaks mengenai agama, politik, dan kesehatan menduduki peringkat tinggi. Direktorat Jenderal Bimas Kementerian Agama RI Ahmad Syamsuddin menilai betapa berbahayanya jika hoaks agama, kesehatan, dan politik saling berkelindan karena potensi daya rusaknya luar biasa.
“Hoaks yang bertema agama tidak hanya menyerang akal, tetapi juga menancap di hati. Sangat sulit membujuk orang yang sudah termakan hoaks agama. Karenanya, upaya kolaborasi melawan hoaks sangat penting dilakukan,” jelas Ahmad dalam siaran pers yang disampaikan Mafindo, Sabtu (5/6/2021).
Ahmad menyampaikan pendapat itu dalam acara seminar daring dipadu dengan luring dengan judul “Merawat Persatuan dan Kesatuan Bangsa dengan Melawan Hoaks serta Ujaran Kebencian” di Jakarta pada Kamis (3/6/2021). Acara untuk memperingati Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2021 ini digelar oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).
Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho juga menyatakan pentingnya mengajak semua elemen masyarakat untuk memerangi hoaks. Menurutnya, akar masalah hoaks di Indonesia itu kompleks. Tidak hanya karena literasi digital masyarakat yang belum merata, tetapi juga karena dipicu polarisasi yang belum reda, ditambah menurunnya kepercayaan publik kepada institusi resmi dan media pers, di tengah naiknya peran jurnalisme warga yang belum semuanya memahami kode etik jurnalistik. “Upaya komprehensif menangani hoaks ini harus melihat dari akar masalahnya,” kata Septiaji.
Pengamat intelijen Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, mengatakan, saat ini konflik yang terjadi di Papua dan Poso, misalnya, sangat potensial bertambah parah apabila ditambah dengan maraknya hoaks dan ujaran kebencian.
Noudhy Valdryno, Politics & Government Outreach Manager Asia Pacific Facebook, menyebutkan, “Facebook telah mengatur berbagai jenis pelanggaran yang ada, misalnya menyangkut kekerasan dan hasutan, konten sadis, organisasi berbahaya, perundungan dan pelecehan, penipuan, berita bohong, bunuh diri, barang dengan izin khusus, dan sejenisnya yang merupakan salah satu bentuk pembatasan dari facebook. Mafindo dan beberapa media di Indonesia juga merupakan mitra Facebook dalam melakukan periksa fakta dan penanda (flagger).”