Jakarta- Pasal makar dalam KUHP mulai diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) setelah Perkumpulan Masyarakat Pembaruan Peradilan Pidana (Institute for Criminal Justice Reform/ICJR) mendaftarkan gugatan terhadap Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140 KUHP mengenai makar. Pemohon meminta MK untuk memastikan definisi makar sesuai konstitusi. “Kita minta diberlakukan konstitusional bersyarat, tidak minta dibatalkan karena pasal makar tetap penting. Hanya memastikan saja definisi makar itu menurut MK seperti apa. Jadi ini demi kepastian hukum,” kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W Eddyono, usai mendaftarkan permohonan uji materi di MK, Jakarta, Jumat (16/12). Supriyadi menegaskan, permohonan uji materi tidak berkaitan dengan pernyataan kuasa hukum tersangka makar Rachmawati Soekarnoputri yakni, Yusril Ihza Mahendra yang akan menguji pasal makar di MK. “Kita sudah mempersiapkan jauh-jauh hari, tetapi agak terlambat karena kami mengupayakan agar pemerintah dan DPR menjelaskan makna makar dalam pembahasan Rancangan KUHP (RKUHP). Kita justru berencana mengujinya sebelum pembahasan RKUHP,” ujarnya. Menurutnya, pengertian makar harus sesuai dengan arti sesungguhnya yang disadur KUHP dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yakni ‘aanslag’, artinya adalah serangan. Sedangkan ‘makar’ berasal dari bahasa Arab yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya akal busuk/tipu muslihat, perbuatan dengan maksud hendak menyerang orang, dan perbuatan menjatuhkan pemerintah sah. Supriyadi menjelaskan, adanya kekeliruan autentik menafsirkan frasa ‘aanslag’ menjadi makar menimbulkan ketidakpastian hukum. ‘Aanslag’ yang artinya serangan merupakan perbuatan diartikan sebagai makar yang merupakan kata sifat.
Dikatakan, kekeliruan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 45 yang menegaskan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kemudian bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 45 yang mengatur, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Supriyadi menyebut, sudah banyak masyarakat yang dipidana akibat pasal makar karena melakukan perbuatan yang sama sekali tidak melakukan penyerangan (aanslag) seperti, pengibaran bendera bintang kejora, merencanakan upacara kemerdekaan Papua Barat, bahkan berniat mengibarkan bendera RMS. Dalam proses persidangan, penuntut umum bahkan majelis hakim tidak menguraikan secara jelas unsur serangan perbuatan terdakwa, namun dikategorikan sebagai kejahatan terhadap negara. “Kami ingin sepanjang tidak dimaknai sebagai serangan, frasa makar dalam Pasal 87, Pasal 104, 106, 107, 139a, 139b , dan 140 KUHP bertentangan dengan Pasal 28 D (1) UUD 1945 dan Pasal 28G ayat (1) UUD 45,” kata Supriyadi.