Jakarta – Bom bunuh diri Kampung Melayu telah menyadarkan semua pihak bahwa betapa berbahayanya radikalisme. Sebagai kaum intelektual maka saatnya bertindak untuk menangani radikalisme yang semakin menyebar.
Dosen FISIP UIN Dr. Ahmad Ubaidillah, menceritakan pengalamannya selama di BNPT. Dia pun menjelaskan bahwa ada beberapa alasan para jihadis itu melakukan aksi bom bunuh diri atau aksi lainnya. Pertama, adalah situasi global (keadaan di Syria, Israel, dll), benci dengan apapun yang berkaitan dengan negara barat. Mereka menganggap bahwa negara barat telah mendominasi negara Indonesia.
“Mereka memilih berjihad di negara ini dengan menghancurkan segala sesuatu yang berkaitan dengan hal itu. Mereka menganggap Indonesia adalah negara thogut, Pancasila harus dirubah, dan mereka harus bertindak menanganinya,” ungkap Ubaidillah.
Hal itu mengemuka saat diskusi bertema “Radikalisme di Indonesia: Bentuk dan Perkembangannya” di UIN, Senin kemarin (29/5).
Kondisi berikutnya adalah situasi tekstual (pemahaman tentang Al Quran, dan agama Islam), bagi mereka agama Islam telah dizhalimi. Terdapat situasi historis yang salah dipahami, seperti piagam agama, sejarah sunni, dan lain-lain.
“Situasi internal, teks Al Quran yang menganjurkan untuk berjihad,” ujarnya.
Menurutnya, kaum radikalisme harus diberi penjelasan mengenai pentingnya Pancasila dan menjadi ideology negara. Sejarah kekalahan piagam Jakarta, menjadi pemicu besar tindakan kaum radikal. Hal inilah yang mendorong kaum radikal meradang. Selain itu, kata dia, salah satu faktor yang melatar belakangi terbentuknya kaum radikal adalah mempelajari buku-buku terjemahan.
“Buku-buku terjemahan tersebut dilansir tidak sesuai dengan konteks asli,” sebutnya.
Lebih jauh, Ubaidillah berpesan untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila, sebab itu adalah simpul tempat bertemu antara beragama perbedaan dan kemajemukan.
“Pancasila harus menjadi rujukan bagi kita sebagai masyarakat majemuk. Pemerintah terlalu sibuk dengan gerakan kanan yang radikal, namun kurang peduli dengan gerakan kiri yang liberal,” ucapnya.
Ditempat yang sama, Pengamat Politik Edi Prayitno mengemukakan bahwa persoalan agama tidak hanya masalah yang harus diselesaikan kalangan tertentu (yang berlatar belakang islam). Dia mengakui UIN menampung seluruh para pemikir dari kalangan apapun, tidak hanya dari golongan moderat ataupun liberal.
“Seorang aktivis harus memiliki kesadaran dan pemahaman Pancasila bahkan pemahaman Pancasila dalam perspektif Islam,” terang Edi.
Namun, kata dia, pemahaman Islam tidak dengan berdarah-darah. Seorang mahasiswa dengan segala jurusan, lanjutnya, wajib paham dengan keislaman dan membawa UIN ke tengah jalan rahmatan lil alamin.
“Perbedaan di antara kita adalah kebiasaan yang lumrah dan tidak perlu mendapat kecaman radikalisme,” tuturnya.
Seyogyanya, tambah dia, pengenalan tentang Islam harus dipahami secara mendalam dan menyeluruh. Sehingga, lahirnya kaum radikal akibat salah pemahaman dapat dicegah.
“Marilah kita mencontoh islamnya Harun Nasution, Islam Nurcholis Madjid, Islam Azyumardi Azra, Islam majemuk, dan lain-lain. Sebagai aktivis dengan jenis kelamin apapun, janganlah mencerminankan UIN dengan islam yang gampang mengkafirkan. Figure yang perlu dicontoh kalangan UIN adalah Harun Nasution, Azyumardi Azra, Nurcholis Madjid, dan lain-lain. Janganlah menganggap NKRI sudah selesai. Marilah perbaiki pemahaman NKRI dari segi keislaman,” tandasnya.