Jakarta – Jargon ‘TNI Anak Kandung Rakyat’, ‘Bersama Rakyat TNI Kuat’, ‘Manunggal TNI dengan Rakyat’, dan berbagai slogan sejenis lainnya, terasa hambar tiada makna apa-apa. Pasalnya, terdapat sekian banyak oknum tentara yang perilakunya ibarat pepatah ‘Jauh Panggang dari Api’. Sikap dan tindakannya berbanding terbalik dengan jargon dan slogan yang digembar-gemborkan TNI selama ini.
Hal itu disampaikan oleh alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, kepada jaringan media se-nusantara ketika dimintai tanggapannya tentang kasus tewasnya Imam Masykur akibat dianiaya seorang oknum TNI dari satuan Paspampres.
Sebagaimana ramai diributkan di seantero negeri dalam dua hari ini bahwa oknum Paspampres, berinisial Praka RM disinyalir telah melakukan penculikan, penyiksaan, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap Imam Masykur (25), pria asal Mon Desa Keulayu, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh.
“Cukup banyak kasus yang disampaikan ke saya terkait perilaku buruk tentara terhadap warga masyarakat. Mulai dari KDRT dan penelantaran istri dan anak, penyiksaan tukang parkir, penculikan, penghilangan nyawa orang secara paksa dan rahasia dengan berbagai dalih dan modus, pembunuhan berencana, hingga kepada sikap arogan oknum-oknum tentara terhadap warga. Buat saya ini mengherankan, karena TNI gencar pasang spanduk, baliho, dan iklan di media-media yang pada intinya TNI dan rakyat itu saudara-an,” ungkap Wilson Lalengke, hari ini.
Fenomena itu, menurutnya, merupakan salah satu pertanda bahwa kalangan tentara Indonesia sedang dilanda penyakit penurunan moral atau biasa disebut penyakit moral decadence (kemerosotan moral). Oknum-oknumnya dikategorikan sebagai manusia amoral. Ada beberapa faktor yang dipandang sebagai pemicu munculnya penyakit semacam ini di kalangan kelompok khusus seperti TNI, Kepolisian, dan/atau kelompok keagamaan, kampus, dan lain sebagainya.
Pertama, kepedulian lingkungan terdekat dari seorang tentara, seperti orang-orang dalam kesatuannya.
“Termasuk yang paling kuat menjadi pemicunya adalah kurangnya perhatian pimpinan atau atasan dari si tentara itu. Keadaan yang kurang nyaman bagi dirinya akan memunculkan rasa frustasi dalam dirinya, yang pada akhirnya dilampiaskan dengan melakukan hal-hal di luar nalar manusia normal. Mungkin karena kompensasi rasa frustasinya itu tidak tersalurkan di internal komunitasnya, menyebabkan dia mencari mangsa atau sasaran kemarahannya di masyarakat,” jelas mantan dosen pengasuh mata kuliah Filsafat dan Logika Ilmu di Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara itu.
Kedua, masih menurut Wilson Lalengke, pengaruh teman seperjalanan atau sepermainan dalam kelompoknya juga amat besar menimbulkan masalah bagi seseorang, termasuk di kalangan militer. Dalam kasus penyiksaan hingga menghilangkan nyawa Imam Masykur misalnya, ternyata Praka RM melakukan kejahatan kemanusiaan itu bersama dua orang rekannya.
“Artinya, faktor pengaruh teman ini menurut saya sangat berperan dalam kasus kematian warga Bireuen itu. Bisa jadi, si oknum Paspampres ini merasa percaya diri melakukan kejahatannya karena dihasut atau dimotivasi oleh rekan-rekannya. Jika saja kedua teman yang menyertainya itu memiliki moral yang baik, tentunya mereka berdua bisa mencegah terjadinya tindak pidana pembunuhan saat itu. Bahkan bisa jadi aktor inteletualnya adalah orang yang bersama oknum RM, sehingga kedua rekannya itu juga harus ditindak seberat-beratnya, jika perlu dikenakan hukuman maksimal hingga pidana mati,” tegas lulusan pasca sarjana bidang Etika Global dari Universitas Birmingham, Inggris, ini.
Ketiga, faktor ekonomi dan kondisi keuangan juga umum ditemukan menjadi penyebab seseorang bertindak brutal terhadap orang lain. Dari video yang beredar terkait kasus yang menjerat oknum anggota TNI Praka RM, ada indikasi bahwa RM memaksa korban untuk memberikan uang.
“Dalam video yang beredar berisi kondisi korban yang sedang disiksa oleh oknum TNI, terdengar suara korban, yang sambil menangis tiada henti, meminta keluarganya mengirimkan uang Rp. 50 juta. Suara korban mengatakan jika tidak mengirimkan uang tersebut dia akan terus disiksa dan dibunuh. Dari fakta itu kita dapat berasumsi bahwa peristiwa naas yang telah mengundang reaksi keras dari para tokoh Aceh tersebut dilatar-belakangi, salah satunya, oleh faktor ekonomi dan uang,” tutur Wilson Lalengke.
Selain faktor tersebut di atas, kata dia, masih terdapat berbagai faktor lainnya, seperti tontonan, bacaan, ataupun ceramah-ceramah yang dikonsumsi oleh sang pelaku selama ini. “Yang paling parah, yaa faktor sakit jiwa alias gila alias ora waras,” ujar tokoh pers nasional yang getol membela orang-orang terzalimi oleh oknum yang bertebaran di negara ini.
Terlepas dari kasus itu, Wilson Lalengke mempertanyakan peran kepemimpinan di institusi dan lembaga negara yang dinilainya lemah dan cenderung tidak bertanggung jawab. Hampir tidak pernah, kata dia, ada pemimpin yang bernyali mengambil tangung jawab atas kesalahan anak buahnya. Baginya, jikapun perbuatan kriminal seorang tentara atau aparat di luar jam kantor, namun status dia sebagai tentara tetap melekat baik di jam kantor atau di luar jam kerja.
“Pertanggungjawaban seorang pimpinan di sebuah institusi itu melekat, sepanjang dia masih menjabat sebagai pimpinan, terhadap orang yang berada di bawah kepemimpinannya, siang dan malam. Nah, hampir belum pernah saya lihat ada pemimpin lembaga di negara ini yang sukarela meletakkan jabatannya ketika ada anak buah yang melakukan kesalahan, separah apapun kesalahannya itu. Yang sering terjadi, menunggu dipecat. Ini sesungguhnya merupakan hal yang buruk secara moral, menandakan bahwa bangsa ini moralnya rendah,” terang pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) ini.
Terkait kasus pembunuhan yang diawali penculikan oleh terduga Praka RM, dan kawan-kawannya itu, dia berharap adanya budaya malu di kalangan elit militer dan Polri serta lembaga negara lainnya. “Mereka wajib menunjukkan rasa tanggung jawab atas kelalaian membina anak buahnya. Kalaupun takut berhenti dari perkejaan sebagai tentara, kuatir sulit hidup tidak berpenghasilan, minimal minta demosi kepada pimpinan di atasnya, untuk dipindahkan ke bagian yang tidak berat tanggung jawabnya, seperti tukang foto copy dan pekerjaan ringan lainnya. Kalau Panglima TNI, minta didemosi oleh Presiden,” tandas Wilson Lalegnke sambil mengatakan dirinya sayang TNI dan ingin melihat lembaga ini tetap dicintai, disegani, dan dihormati rakyat Indonesia.