Oleh: Ayik Heriansyah
Masirah kata yang digunakan oleh Hizbut Tahrir untuk menunjukkan suatu kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum secara beramai-ramai. Sejenis unjuk rasa. Hizbut Tahrir menghindari istilah demonstrasi (muzhaharah) karena identik dengan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum yang disertai dengan kerusuhan yang biasanya terjadi pada sistem demokrasi.
Hizbut Tahrir menjadikan sirah Nabawiyah sebagai dasar masirah yaitu ketika sekelompok sahabat berkeliling Ka’bah sambil menyerukan kalimat tauhid dengan suara keras sambil berkeliling ka’bah agar terdengar oleh semua penduduk kota Makkah. Mereka berbaris, dan membentuk dua buah shaf. Satu shaf dipimpin oleh Hamzah bin Abdul Muthalib, satu shaf lainnya dipimpin oleh Umar bin Khaththab.
Masirah dijadikan salah satu cara (uslub) guna menyampaikan ajaran-ajaran Hizbut Tahrir. Khususnya yang berhubungan dengan isu-isu politik nasional dan global. Misalnya pada tahun 2001, saat Amerika Serikat menginvansi Irak, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengadakan masirah di depan Kedutaan Besar Amerika di Jakarta. Mereka menentang invansi tersebut.
Pada tahun 2002 ketika MPR melakukan amandemen UUD 1945, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengadakan masirah dengan mengusung tema “Selamatkan Indonesia dengan Syariah”. Di dalam masirah tersebut, tokoh-tokoh HTI berorasi menyampaikan ide-ide mereka tentang segala aspek kehidupan (politik, pemerintahan, ekonomi, keuangan, tenaga kerja, dsb) agar didengar oleh anggota MPR. Hampr setiap tahun, HTI mengadakan masirah sebelum badan hukumnya dicabut 2017.
Masirah-masirah yang dilakukan oleh HTI, punya tujuan jangka panjang selain tujuan jangka pendek menyuarakan pendapat HTI terkait isu tertentu. Tujuan jangka panjangnya adalah, menggalang people power sebesar-besarnya dalam rangka menciptakan keadaan yang kondusif dan memberi dukungan bagi aktivitas thalabun nushrah (kudeta) yang dieksekusi oleh lajnah thalabun nushrah sampai proses peralihan kekuasaan (istilamul hukmi) dari penguasa sebelumnya kepada HTI.
Masirah yang diikuti oleh jutaan orang peserta, serentak di seluruh Indonesia, yang diorganisir oleh HTI. Lalu HTI menuntun dan menuntut massa agar membai’at Amir Hizbut Tahrir menjadi khalifah. Dengan demikian, khilafah tegak. Inilah masirah kubra yang diimpi-impikan oleh HTI.
Maksud dan tujuan dari masirah yang dilakukan HTI berbeda dengan “masirah” yang dilakukan para sahabat Nabi saw. Masirah para sahabat, murni dakwah ilallah. Bersih dari motif-motif politik praktis yang berorientasi kepada kekuasaan. Masirah para sahabat Nabi saw dengan masirah HTI, berbeda “illat”.
Oleh karena itu, dasar pijakan hukum masirah yang diambil HTI dari sirah Nabawiyah, lemah. Lagi pula, pada masirah sahabat Nabi saw, mereka tidak menyertakan kaum wanita dan anak-anak. Sebaliknya HTI, kerap membaw kaum wanita dan anak-anak. Lebih tepat, jika dikatakan HTI mempolitisasi sirah Nabawiyah untuk menjustifikasi aktivitas politiknya.