Malang – Dosen Tafsir Universitas Malik Ibrahim Malang H. Ahmad Barizi, membeberkan faktor lahirnya Islam radikal khususnya di Indonesia.
Dia menyebut ada faktor internal, yakni penyimpangan yang dilakukan umat lslam terhadap norma-norma agama dan implik kehidupan sekuIer masyarakat Muslim sebagai aksi dari kolonialisme menjadi dorongan yang kuat untuk melakukan gerakan purifikasi agama.
“Sementara faktor eksternal, yaitu pergolakan revitalisme Islam di Timur Tengah dan modernisasi di Barat,” ungkap Ahmad Barizi dalam seminar kebangsaan bertema “Mencegah Faham Radikalisme dan Bahaya Terorisme Terhadap Generasi Muda-Terorisme Bukan Islam, Islam Bukan Terorisme” yang diinisiasi Kesatuan Mahasiswa Malang Raya di Gedung Osman Masyur Lantai III Universitas Islam Malang Jl. Mayjen Haryono No.193, Dinoyo, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Kamis (27/2/2018).
Menurutnya, dalam mencegah paham radikalisme dan bahaya terorisme, problem yang dihadapi Indonesia sebagai negara kepulauan, dinilai mustahil realitas lslam di Indonesia terhindar dari berbagai perbedaan dan keragaman. Karena itu merupakan suatu keniscayaan apabila karakteristik Islam di Indonesia mengemuka dengan yang dinamakan kesatuan dan keragaman.
Karakteristik yang lain, kata dia, diantaranya menunjukkan mentalitas Perang Salib, penegakan hukum Islam secara total, perlawanan terhadap pemerintahan dan sistem-sistemnya.
“Jalan jihad adalah jalan terhormat bagi penegakan ajaran Tuhan kemudian diperkuat gerakan keagamaan yang mulai bermunculan di Indonesia sekitar pertengahan 1980-an, yang ditandai dengan keberadaan pemuda yang sering memakai Jalabiyyah (jubah panjang), imamah (surban), isbal (pantalon panjang sampai matakaki), dan lihyah (jenggot panjang), serta bagi kaum muslimahnya memakai niqab, yaitu bentuk pakaian warna hitam yang menutupi seluruh tubuh beserta cadarnya,” bebernya.
Ditempat yang sama, Pembina Kampung Muslim Melbourne Australia Dr. H. Muhammad Yahya menilai kemunculan radikalisme, individual kelompok di Asia yang mengatasnamakan bahwa ideologi adalah perubahan atau keyakinan teokratis, dengan tafsir sempit dan sepihak.
“Secara radikal dan brutal justru digunakan melakukan perbuatan radikan dan ekstrim. Perbuatan radikal tersebutlah yang saat ini dinamakan teroris,” ucapnya.
Dia melanjutkan dalam negara demokrasi, radikalisme dapat menjadi faktor krimonogen, dimana cita-cita yang di yakininya di wujudkan melalui cara-cara kekerasan dan cara-cara yang melawan hukum. Pengaturan hukum terhadap bahaya radikalisme terutama yang di wujudkan melalui cara-cara kekerasan dan melawan hukum, menjadi relevan manakala pengaturan dimaksud bertujuan untuk melindungi keamanan dan perdamaian umat.
“Potensi radikalisme dan terorisme di Indonesia di pengaruhi oleh faktor – faktor yang signifikan terhadap rendahnya resestensi atas tindakan radikal antara lain pemahaman agama yang cenderung lagalistik, dan eksklusif dan hadirnya organisasi – organisasi garakan radikal,” tandasnya.