Oleh: Ayik Heriansyah
Asas hukum mengatakan: Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Disebut asas legalitas. Artinya tidak ada satu kesalahan atau tidak ada satu yang dilarang sampai ada UU yang melarangnya terlebih dahulu.
UU yang menganut asas legalitas tidak berlaku surut. Seperti UU KUHP baru. UU tersebut tidak dapat digunakan untuk mempidanakan aktivitas HTI sebelum masa berlakunya Januari 2026.
Sedangkan sebagai objek hukum, HTI sudah tidak ada sejak badan hukum mereka dicabut pada tahun 2017. Dan seseorang tidak dapat dihukum karena dinisbatkan kepada HTI. Kecuali ada putusan pengadilan yang mengatakan HTI sebagai organisasi terlarang atau teroris.
Jika HTI ditetapkan oleh pengadilan sebagai organisasi teroris, maka UU Terorisme dapat dipakai bersamaan dengan KUHP baru. Aktivis HTI langsung ditangkap dengan tuduhan tersangka teroris oleh Densus 88. Lalu dipenjara di lapas khusus narapidana terorisme dan mengikuti program deradikalisasi.
Akan tetapi sangat sulit bagi polisi untuk mendapatkan bukti-bukti hukum material dan formal yang menunjukkan bahwa HTI itu organisasi teroris. Kecuali bilamana polisi mengadopsi produk hukum negara-negara Arab, Rusia, Turki, dll yang mengatakan bahwa Hizbut Tahrir adalah organisasi teroris.
Selain itu masyarakat Indonesia kurang percaya apabila HTI divonis sebagai organisasi teroris. Dengan demikian kecil peluang bagi pemerintah untuk menghukum HTI dengan UU Terorisme.
Dengan menghukum HTI pakai KUHP baru saja, HTI diperlakukan sebagai narapidana biasa. Ditempatkan di penjara-penjara biasa. Mereka tidak mengikuti program deradikalisasi. Bergabung dengan para narapidana biasa. Mereka berkesempatan meradikalisasi para narapidana tersebut. Mungkin sampai taraf merekrut untuk bergabung dengan HTI.