Baku, Azerbaijan — Negara-negara berkembang dan rentan menuntut kejelasan tentang komitmen pendanaan iklim dalam COP29 yang tengah berlangsung pada 11-22 November 2024. Selama ini, negara-negara maju berkontribusi terhadap 80% emisi historis global, sehingga mereka harus meningkatkan pendanaan iklim bagi negara miskin dan berkembang sesuai dengan polluters pay principle.
“Keterlambatan mobilisasi pendanaan ini akan semakin mengancam kesejahteraan kelompok rentan dan menjauhkan kita dari target membatasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat celcius”, kata Syaharani, Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL dalam keterangan persnya (14/11/2024).
Berdasarkan Perjanjian Paris (2015), negara-negara maju dalam Annex I dan II wajib membayar pendanaan iklim sebagai bentuk prinsip Common But Differentiated Responsibility (CBDR). Banyak pihak berharap COP29 dapat menyepakati komitmen pendanaan yang mencakup tiga pilar aksi iklim: mitigasi, adaptasi serta kehilangan dan kerusakan (loss and damage) yang sesuai dengan kebutuhan global.
COP29 juga disebut sebagai COP Finance karena bahasan utamanya adalah mobilisasi pendanaan iklim. Salah satu target pendanaan baru dalam pertemuan itu adalah New Collective and Quantified Goal (NCQG). Namun, di awal pembahasan, rancangan draft untuk tujuan pendanaan baru ini sudah ditolak oleh negara-negara G-77 karena dianggap belum memenuhi harapan. Hal ini tentu membuat komitmen mobilisasi pendanaan iklim masih jauh dari target pertemuan.
Komitmen pendanaan menjadi persoalan yang pelik. Sejak 2009 melalui Copenhagen Accord, negara-negara maju bersepakat memberikan dana iklim kolektif senilai US$ 100 miliar per tahun untuk membantu negara-negara miskin dan berkembang.
Namun, komitmen tersebut sulit terealisasi karena sifat Accord yang tidak mengikat. Jumlah pendanaan iklim dalam kesepakatan itu juga masih jauh dari kebutuhan. Berdasarkan perhitungan terbaru, pendanaan iklim setidaknya membutuhkan US$ 8 triliun per tahun hingga tahun 2030.
Syaharani menilai pendanaan iklim bukan hanya soal mendapatkan uang, tetapi memastikan pendanaan yang adil. Saat ini, hampir 90% pendanaan iklim global ditujukan untuk mitigasi, “padahal kerugian ekonomi akibat perubahan iklim diproyeksikan akan mencapai US$ 447-894 miliar per tahun pada 2030. Itu belum termasuk kerugian non-ekonomi,” katanya.
Urgensi ini menuntut alokasi pendanaan yang lebih besar bagi adaptasi dan loss and damage, terutama mengingat banyak program mitigasi di Indonesia. Penerapan co-firing PLTU dan pembangunan energi terbarukan skala besar, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) misalnya, justru menurunkan daya adaptif karena merusak ekosistem.
Azis Kurniawan, Manager Policy Koaksi Indonesia menambahkan negara-negara berkembang akan membutuhkan US$ 1,1 triliun setiap tahunnya untuk pendanaan iklim. “Pendanaan ini sangat krusial untuk mempercepat transisi energi terbarukan dan membantu negara berkembang menghadapi tantangan adaptasi serta mitigasi krisis iklim yang semakin mendesak,” kata Azis.
Eka Melisa, Direktur Tata Kelola Berkelanjutan – Perubahan Iklim, KEMITRAAN menekankan perlunya memperhatikan sumber dan jenis pendanaan. “Sebagian besar pendanaan iklim yang rencananya dikucurkan di negara berkembang lebih banyak yang sifatnya concessional atau loan,” kata Eka.
Menurut Eka, Indonesia perlu memperjuangkan indikator pendanaan berkelanjutan. “Ini penting agar investasi swasta, —terutama untuk proyek-proyek infrastruktur besar— yang mengatasnamakan adaptasi perubahan iklim, tidak justru memperparah kesenjangan, ketidakadilan atau menambah beban negara dalam bentuk utang,” katanya.
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutkan mengatakan sistem pendanaan yang adil dapat dirancang melalui reformasi arsitektur pendanaan global. Salah satunya dengan mengalihkan aliran pendanaan global dari sektor-sektor yang intensif emisi ke sektor yang lebih hijau.
“Distribusi pendanaan yang adil harus berfokus pada upaya perlindungan dan pemulihan ekosistem, restorasi lingkungan serta bertransisi ke energi terbarukan,” ujar Nadia. Indonesia harus memiliki mekanisme finansial untuk memastikan tidak ada penyaluran dana iklim dan lingkungan hidup bagi aktor-aktor yang merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati serta melanggar hak asasi manusia.
“Indonesia memerlukan kebijakan yang kuat untuk membangun mekanisme pendanaan iklim yang adil untuk subjek rentan,” kata Nadia. Termasuk dalam subjek rentan yaitu masyarakat adat dan komunitas lokal, petani dan nelayan kecil/tradisional, buruh, perempuan, penyandang disabilitas, dan kaum muda.
Nadia mengatakan penyaluran dana iklim harus diutamakan untuk masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai garda terdepan dalam menjaga, melindungi dan mengelola ekosistem alam sebagai ruang hidup dan sumber penghidupan mereka. Saat ini, pendanaan iklim bagi masyarakat adat dan lokal masih sangat minim.
Ode Rakhman, Direktur Nusantara Fund menuturkan penyaluran dana bagi masyarakat adat dan komunitas lokal harus menggunakan mekanisme akses secara langsung dengan porsi yang lebih besar. “Pendanaan langsung bagi masyarakat adat dan komunitas lokal merupakan cara paling efektif dibandingkan dengan mekanisme pendanaan lainnya, seperti Dana Desa,” katanya.
Nusantara Fund telah mendukung 157 inisiatif masyarakat adat dan komunitas lokal di Indonesia senilai US$ 950 ribu sejak Januari hingga Oktober 2024. Pada akhir November 2024, Nusantara Fund akan menyalurkan pendanaan langsung tambahan sebesar US$ 600 ribu untuk mendukung sekitar 90 inisiatif dari masyarakat adat dan komunitas lokal di penjuru Indonesia.
Penyaluran dana iklim secara langsung bagi masyarakat adat dan lokal merupakan solusi efektif dalam upaya meningkatkan ketahanan sosial dan ekosistem dari risiko krisis iklim. “Masyarakat adat dan lokal lebih memahami kondisi ruang hidup dan tantangan keanekaragaman hayati sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menerapkan solusi yang efektif dan praktik berkelanjutan,” kata Ode. Mekanisme pendanaan langsung juga akan memperkuat kesetaraan sosial dan ekonomi yang lebih adil melalui kepemilikan serta pengelolaan dana secara kolektif.