Jakarta – Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek, khususnya yang mengatur operasional armada berbasis aplikasi online atau model bisnis e-hailing.
Direktur I-Movement Supriyadi mengingatkan agar dalam sosialisasi dan pelaksanaan peraturan harus memperhatikan kepentingan masyarakat banyak, baik dari sisi konsumen maupun para pengemudi (driver) sebagai penyedia layanan publik.
Pasalnya, Permenhub 32 tahun 2016 mulai disosialisasikan 1 Oktober 2016 hingga sekarang. Pada 28 Maret 2016 era Menhub Ignasius Jonan, aturan tersebut berlaku efektif enam bulan setelah diterbitkan atau efektif berlaku mulai 1 Oktober 2016.
Dalam keputusannya, Permenhub menuai kontroversi karena dianggap tidak melalui diskusi publik (public hearing) dan tanpa dikonsultasikan kepada kementerian terkait lain. Selain itu, kata Yadi, Permenhub 32 dinilai melanggar prinsip ekonomi kerakyatan karena memaksa para pengemudi armada online menjadi karyawan atau perkerja, padahal pada prinsip bisnisnya pengemudi didorong menjadi enterprenuer.
“Seperti dalam model e-hailing yang diterapkan Uber, Grab dan Gocar para pengendaranya diberdayakan dan didorong menjadi pemilik-pengusaha (owner-entrepeneur),” ungkap Yadi di Warung Daun, hari ini.
Disisi lain, lanjut dia, banyak pihak meminta pemerintah memberikan ruang hukum yang jelas kepada model bisnis e-hailing, karena perkembangan teknologi tak bisa dicegah. Apalagi penumpang diberi pilihan yang lebih banyak, yaitu tarif lebih murah dan pelayanan yang lebih sempurna. Bahkan, kata dia, pengamat ekonomi ada yang menilai keberadaan Permenhub 32/2016 bertentangan dengan jiwa ekonomi kerakyatan, karena menggolongkan usaha mitra e-hailing dalam kategori taksi konvensional atau angkutan umum.
Padahal ketentuan tentang angkutan sewa masih diatur sebagai model usaha transportasi konvensional, seperti adanya kewajiban balik nama surat tanda nomor kendaraan (STNK), kewajiban memiliki SIM A Umum, dan uji berkala kendaraan bermotor (KIR).
“Adanya kebutuhan revisi Permenhub 32/2016, muncul dari para pelaku bisnis armada online agar kewajiban memiliki SIM A Umum bagi para mitra pengemudi e-hailing paruh waktu (part-timer) dipertimbangkan, ataupun sopir yang mengemudi tidak lebih dari 30 jam per minggu.,” ujarnya.
Masih kata Yadi, tuntutan lain dari para driver juga mengenai penghapusan kewajiban balik nama STNK atas nama perusahaan atau koperasi, dan penghapusan ketentuan batasan volume mesin kendaraan seperti taksi, dan keberadaan kepemilikan pool.
Menjadi bagian dari perkembangan teknologi, keberadaan aplikasi onilne masuk dalam ranah investasi, karena itu membutuhkan aturan yang harus diharmonisasikan.
“Keberadaannya yang sudah sangat berkaitan dengan ekonomi kerakyatan, dimana banyak masyarakat turut terberdayakan dalam kondisi ekonomi sedang sulit dan masyarakat yang memiliki kendaraan bisa dikaryakan dengan armada online berbasis aplikasi,” cetusnya.
Yadi berharap Permenhub 32/2016 dalam proses sosialisasi, ada kebutuhan revisi, agar pelaku bisnis armada online dan para pemangku kepentingan (stakeholder) dapat harmonis dalam menyusunannnya.
“Gelar diskusi panel ini dimaksudkan ada masukan yang postif dan saling menguatkan. Karena pada dasarnya peraturan dibuat untuk adanya keseimbangan dan keadilan. Artinya, ada harmonisasi dalam aturan bisnis transportasi yang harus dipenuhi pelaku bisnis dengan tujuan melindungi konsumen,” tandasnya.