Jakarta – Outlook HuMa 2020 memaparkan hubungan tren kebijakan pro investasi ini dengan data konflik agraria dan sumber daya alam. Selain itu, Outlook HuMa 2020 juga memaparkan inisiatif-inisiatif masyarakat yang terdampak konflik penguasaan lahan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dalam menyelesaikan konflik, melestarikan adat, dan menjaga hutan. Di tengah ketidakhadiran pemerintah, yang sedang sibuk mengejar-ngejar investasi.” papar Dahniar Adriani, Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia dalam Launching: Outlook HuMa 2020 dan Film HuMa “Menyelamatkan Tembawang Terakhir” di Tjikini Lima Restaurant, Jakarta (16/1). ”Pemerintah harus sadar bahwa peningkatan laju investasi tidak akan selalu berujung peningkatan kesejahteraan masyarakat, apalagi jika investasi yang masuk justru menyebabkan konflik sumber daya alam dan bencana ekologis meningkat.”, lanjut Dahniar.
Hingga Desember 2019, Perkumpulan HuMa Indonesia mendokumentasikan 346 konflik sumber daya alam dan agraria. Konflik terjadi di 166 kabupaten/kota di 32 provinsi, dengan luas areal 2.322.669,325 hektar, dan melibatkan 1.164.175 jiwa masyarakat adat dan/atau lokal. Jika dibagi berdasarkan sektor, konflik sektor perkebunan paling tinggi, namun dari segi luas area dan masyarakat terdampak, konflik di sektor kehutanan masih yang terbanyak. Konflik perkebunan masih menempati jumlah tertinggi dengan 161 konflik, area terdampak 645.484,42 hektar, serta melibatkan masyarakat terdampak sejumlah 49.858 jiwa. Sedangkan konflik di sektor kehutanan sampai saat ini terdata 92 konflik, dengan luasan 1.293.394,682 hektar, dan melibatkan 586.349 korban. Kemudian sektor pertambangan sejumlah 50 konflik, pertanahan 40 konflik, dan 3 konflik di perairan dan kepulauan. Dari konflik tersebut, terdapat 53 kasus penangkapan dengan korban 805 orang. Tercatat juga 29 kasus dengan 317 korban penganiayaan. Bahkan, dalam 13 kasus mengakibatkan hilangnya nyawa dengan jumlah korban 30 jiwa. Selain itu tercatat ada 51 kasus pemidanaan dengan jumlah korban 382 orang. Jumlah ini belum termasuk usaha-usaha kriminalisasi seperti warga yang dilaporkan, namun sampai sekarang kelanjutan kasusnya belum jelas.
Konflik sumber daya alam yang tidak kunjung selesai dirawat oleh paham formalisme hukum dalam penegakan hukum sumber daya alam. Dalam konteks pemberian konsesi kepada perusahaan misalkan, formalisme hukum digunakan dengan melihat instrumen perizinan hanya sebagai syarat administrative. Padahal, konsesi kerap dikeluarkan tanpa memperhatikan bahwa lahan di area konsesi telah dikuasai secara turun-temurun oleh masyarakat adat dan lokal. Selain problem formalism hukum, konflik dan pemiskinan juga langgeng akibat perencanaan program dan kebijakan pemerintah yang tidak sesuai kebutuhan masyarakat.
Niat Pemerintah Jokowi 2019-2024 untuk mendorong penyelesaian konflik belum terlihat. Kebijakan neo-liberal justru semakin dipertontonkan tanpa malu-malu. Segala agenda perombakan, penegakan hukum dan deregulasi kebijakan serta modifikasi birokrasi, selalu diarahkan untuk tujuan meningkatkan investasi. Produk unggulannya saat ini adalah omnibus hukum Cipta Lapangan Kerja, yang singkatnya merupakan jalan tol masuknya pemodal-pemodal ke Indonesia, tanpa safeguard lingkungan dan social yang ketat.
Di tengah situasi formalisme hukum yang meniadakan klaim masyarakat adat dan lokal atas sumber daya alam, mereka dengan sistem sosialnya sendiri sering berhasil menempatkan diri pada posisi yang resisten terhadap tafsir kekuasaan negara atas wilayah lokal. Inisiasi Masyarakat Adat Karampuang, Desa Tompobullu, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulewesi Selatan salah satunya. Mereka berhasil mendorong pemerintah desa melakukan optimalisasi pemanfaatan dana desa untuk pengembangan ruang-ruang adat. Beberapa di antaranya untuk pengelolaan wilayah adat, inventarisasi potensi sumber daya alam dalam wilayah dan hutan adat, pelestarian kebudayaan, serta penguatan nilai, pengetahuan, aturan dan tata kepengurusan hidup bersama di wilayah adat karampuang . “Pemuda adat Karampuang telah memetakan potensi yang terdapat di wilayah dan hutan adat. Hasilnya telah dituangkan dalam buku berjudul Hanuae Karampuang. Buku itu memuat informasi utuh seluk beluk Komunitas Adat Karampuang dan gagasan pemuda adat untuk mengelola hutan adat. Hutan adat tersebut dinamakan Ajju’ Tarana, artinya pohon asuh”, jelas Solichin, dari Masyarakat Adat Karampuang.
“Program dan kebijakan pemerintah hanya akan menjelma menjadi institutional corruption apabila tidak memenuhi kebutuhan riil masyarakat. Belajar inisiatif Masyarakat Adat karampuang, tidak sulit bagi pemerintah untuk merancang program yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat yang paling tahu apa yang mereka butuhkan, dan bagaimana cara mengalokasikan sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pemerintah hanya perlu membuka kesempatan untuk mendengar dan mendampingi masyarakat dalam menyusun perencanaan yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan konflik”, tutup Dahniar Andriani.