Oleh Ayik Heriansyah
Tulisan ini syarah (penjelasan) atas artikel Shiddiq al-Jawi alias Sigit Purnawan Jati, salah seorang pengurus pusat HTI yang pernah dimuat pada majalah al-Wa’ie edisi Mei 2011 tentang thalabun nushrah.
Thalabun nushrah pada hakikiatnya upaya kudeta militer yang didalangi oleh Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir ingin mengaburkan hakikat ini, dengan mengatakan thalabun nushrah-tidaklah identik dengan kudeta militer (al-inqilab al-‘askari). Thalabun-nushrah adalah aktivitas politik, bukan aktivitas militer. Jadi keliru kalau ada yang berpendapat thalabun-nushrah sama saja dengan kudeta militer. Yang benar, kudeta militer hanyalah salah satu cara (uslub)—bukan satu-satunya cara—yang dapat dilaksanakan oleh Ahlun Nushrah ((Hazim ‘Ied Badar, Thariqah Hizb at-Tahrir fi at-Taghyir, hlm.18).
Salah, jika dikatakan thalabun nushrah adalah aktivitas politik belaka. Yang benar adalah thalabun nushrah merupakan aktivitas politik dan militer. Aktivitas politik dilakukan oleh Hizbut Tahrir melalui lajnah Thalabun Nushrah yang berperan aktor intelektual, motivator dan supervisor. Aktivitas militer dieksekusi oleh perwira-perwira yang memegang pasukan dan persenjataan yang telah dibina oleh Hizbut Tahrir.
Adapun teknis peralihan kekuasaannya bergantung sepenuhnya kepada Ahlun Nushrah; boleh jadi dengan kudeta militer atau dengan cara lain yang damai, tergantung situasi yang ada.(Hazim ‘Ied Badar, Thariqah Hizb at-Tahrir fi at-Taghyir, hlm.18). Metode penyerahan kekuasaan secara damai secara sukarela dan tanpa syarat, di luar mekanisme pemilu dan sistem putra mahkota, hanya terjadi pada diri Rasulullah saw ketika pemuka kaum ‘Aus dan Khazraj menyerahkan kekuasaan kepada Muhammad saw sebagai bagian dari keimanan dan keislaman mereka.
Atha bin Khalil Abu Rusytah (Amir Hizbut Tahrir) bukan seorang nabi yang wajib diimani dan ditaati. Ia seorang pemimpin partai politik yang tidak dikenal selain di kalangan Hizbut Tahrir. Hampir mustahil, di muka bumi ini ada seorang penguasa yang mau menyerahkan kekuasaan kepadanya layaknya para pemimpin kaum ‘Aus dan Khazraj menyerahkan kekuasaan kepada Rasulullah saw. Sebab itu, satu-satu jalan bagi Amir Hizbut Tahrir untuk memperoleh kekuasaan, dengan merebutnya (akhzul hukmi) melalui kudeta militer.
Menurut konsep Hizbut Tahrir, Ahlun Nushrah atau disebut juga Ahlul Quwwah artinya adalah al-qadirun ‘ala i’tha’ al-hukm, yaitu orang-orang yang berkemampuan untuk memberikan kekuasaan. Mereka bisa jadi adalah orang-orang yang sedang memegang kekuasaan, misalnya presiden atau panglima militer, atau bisa jadi tidak sedang memegang kekuasaan, namun memiliki pengaruh yang kuat kepada masyarakat, misalnya kepala kabilah, pimpinan partai politik, dsb (Abu Al-Harits, Thalab an-Nushrah, hlm. 1; M. Muhsin Radhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu, hlm. 312).
Di negara-negara modern; Kepala kabilah, pimpinan partai politik, dsb tidak memiliki kekuatan yang nyata. Kekuataan mereka hanya di atas kertas dan sangat terbatas. Mereka sangat lemah seandainya diperintah Hizbut Tahrir untuk mengambil alih kekuasaan. Mereka tidak memenuhi syarat jika disebut sebagai Ahlul Quwwah. Dan pada praktiknya, thalabun nushrah yang dilakukakan oleh Hizbut Tahrir fokus kepada Ahlul Quwwah dari kalangan militer, karena “Ahlul Quwwah” dari kalangan sipil menjadi garapan lajnah Fa’aliyah.
Thalabun nushrah akan dieksekusi oleh perwira-perwira militer yang telah dibina oleh Hizbut Tahrir terlihat dari syarat-syarat Ahlun Nushrah yang ditetapkan oleh Hizbut Tahrir yaitu,
1). Ahlun Nushrah haruslah kelompok yang kuat, yakni berkemampuan menyerahkan kekuasaan, termasuk mampu mempertahan-kan Khilafah kalau sudah berdiri. Jadi thalabun-nushrah tak boleh berasal dari kelompok yang lemah. (M. Abdullah Al-Mas’ari, Al-Mana’ah wa Thalab an-Nushrah, hlm. 4; M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital, I/411). Kelompok yang kuat di zaman kini adalah mereka yang memiliki pasukan dan persenjataan.
2). Haruslah orang-orang yang mendukung syariah dan Khilafah, bukan orang yang memusuhi Islam seperti kaum sekular, liberal, dsb. Syariah di sini maksudnya pendapat fiqih dan ushul fiqih yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir, sedangkan khilafah maksudnya Khilafah Tahririyah versi Hizbut Tahrir. Khilafah yang khalifah-nya dipilih dan diangkat dari kader terbaik Hizbu Tahrir (Amir Hizbut Tahrir), menerapkan UUD (dustur/konstitusi) susunan Amir Hizbut Tahrir dan menerapkan UU yang diambil dari pendapat fiqih Hizbut Tahrir yang berdasarkan metode ushul fiqih Hizbut Tahrir.
Jadi, Ahlun Nushrah (perwira-perwira militer) wajib mengikuti pembinaan lebih dulu sebagai pelajar (daris) dalam halqah untuk mempelajari Islam (pemikiran dan fiqih) dalam partai politik yang melakukan thalabun-nushrah (Hizbut Tahrir), meski tidak disyaratkan harus menjadi anggota partai politik itu (M. Muhsin Radhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu, hlm. 315). Dari pembinaan ini, proses indoktrinasi terjadi.
Akan tetapi lebih afdhal jika Ahlun Nushrah menjadi anggota Hizbut Tahrir dengan mengucapkan sumpah (qassam), agar Hizbut Tahrir yakin akan kesungguhannya, mengingat misi yang diemban sangat genting, krusial, genting, rahasia dan sensitif. Menyangkut keselamatan aktivis Hizbut Tahrir secara keseluruhan.
3) Ahlun Nushrah harus berada sepenuhnya di bawah kendali partai politik (Hizbut Tahrir) yang mereka dukung, bukan menjadi kekuatan terpisah di luar kontrol. (M. Muhsin Radhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu, hlm. 315). Dengan mengikuti halqah, otomatis perwira-perwira militer dalam kontrol dan kendali Hizbut Tahrir. Sel-sel halqah Hizbut Tahrir di tubuh militer sangat rahasia dan terpisah dari sel-sel sipil. Sel-sel halqah Hizbut Tahrir di tubuh militer dikelola oleh lajnah Thalabun nushrah yang langsung berhubungan dengan Amir Hizbut Tahrir.
Mengingat akan bahaya dan resikonya, thalabun-nushrah dilakukan oleh satu delegasi, atau bahkan satu orang saja, untuk melakukan thalabun-nushrah kepada seorang presiden, atau seorang jenderal pimpinan militer. Jadi, thalabun-nushrah adalah aktivitas yang khusus dan rahasia. Sebab, tabiat thalabun-nushrah memang hanya menghendaki keterlibatan sejumlah kecil orang saja, bukan banyak orang (M. Muhsin Radhi, Hizb at-Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu, hlm. 312). Thalabun nushrah tidak dilakukan oleh setiap pengurus dan anggota Hizbut Tahrir.
Anggota Hizbut Tahrir lainnya bertugas menyiapkan suasana yang kondusif bagi keberhasilan thalabun nushrah melalui pembinaan dan pengkaderan dalam sel-sel halqah dan aktivitas pembinaan umum seperti seminar, tablig akbar, aksi turun ke jalan, dan sebagainya. Membuat diskusi-diskusi online melalui aplikasi Zoom, Youtube, Instagram, dll. Memviralkan narasi-narasi yang mendukung khilafah dan mendeskriditkan pemerintah di media online dan media sosial serta menggalang dukungan dari tokoh-tokoh sipil.
Aktivitas umum dan thalabun-nushrah ini akan saling melengkapi dan membutuhkan. Sebab, thalabun-nushrah yang berhasil membutuhkan suasana yang kondusif, yaitu terwujudnya opini umum berlandaskan kesadaran umum yang mendukung Syariah dan Khilafah (M. Husain Abdullah, Ath-Thariqah asy-Syar’iyah li Isti’naf al-Hayah al-Islamiyah, hlm. 90). Syariah dan khilafah versi Hizbut Tahrir tentunya.
Thalabun nushrah adalah kunci bagi tegaknya Khilafah Tahririyah. Omong kosong kalau aktivis Hizbut Tahrir mengatakan mereka hanya menawarkan, bukan memaksa. Di Arab sudah puluhan kali sejak tahun 1960-an, Hizbut Tahrir mengeksekusi kudeta, namun gagal. Demikian juga di Asia Tengah dan Pakistan. Ketika dikatakan metode Hizbut Tahrir mendirikan khilafah dengan kudeta militer, sering kali aktivis Hizbut Tahrir di Indonesia mengelak dengan menanyakan, “mana buktinya Hizbut Tahrir di Indonesia pernah melakukan kudeta?” Jawab saja, “mari, sama-sama kita tunggu buktinya.”