Jakarta – Manjemen PT. Malisya Sejahtera, perusahaan yang bergerak di perkebunan kelapa di Desa Tiberias, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara mempertanyakan tidak adanya perlindungan hukum bagi investor. Karena sebagai investor yang akan mengembangkan daerah menjadi terhambat dengan tidak adanya perlindungan hukum dari ulah para preman.
Martin Risman Simanjuntak, SH, MH, kuasa hukum PT Malisya Sejahtera mengatakan, saat ini PT Malisya Sejahtera berencana investasi di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara sebagai respons atas salah satu visi dan misi pemerintah pusat. Perusahaan akan merevatalisasi lahan seluas 177 hektar dan akan mengembalikan Kabupaten Bolaang Mongondow sebagai kawasan Nyiur Melambai.
“Perusahaan juga mengerjakan warga sekitar sebanyak 90 orang guna membuat komoditas kelapa sebagai unggulan di Kabupaten Bolaang Mongondow,” ujar Martin kepada Harian Terbit, Senin (10/4/2017).
Martin menuturkan, sejak tahun 2001, PT Malisya Sejahtera juga telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP) Perkebunan Kelapa, Hak Guna Usaha (HGU) seluas 177,132 Ha, tepatnya berlokasi di Desa Tiberias, Kecamatan Poigar, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan perizinan lainnya dari Pemda sesuai disyaratkan dalam Peraturan-Perundang-Undangan yang berlaku.
Namun, sambung Martin, sejak awal tahun 2015 hingga saat ini, kegiatan investasi yang direncanakan untuk pengembangan industri berbasis kelapa secara terpadu mulai dari hulu (produksi benih kelapa bersertifikat) sampai ke industri hilir (pengolahan beragam produk) belum dapat dilaksanakan. Karena pihaknya mendapat gangguan terhadap pekerja serta penolakan kegiatan usaha yang dikoordinir secara massif oleh oknum-oknum tertentu yang menjurus pada tindakan premanisme.
“Puncaknya pada tanggal 15 September 2016, karena adanya tekanan dari segelintir orang yang mengatasnamakan masyarakat, Pejabat Bupati Bolaang Mongondow sebagaimana Surat No. 53/03/IX/2016 tertanggal 15 September 2016, justru mencabut izin HGU PT Malisya Sejahtera (Surat Pejabat Bupati Bolmong) yang sebenarnya secara hukum bukan merupakan kewenangannya,” ungkapnya.
Lebih lanjut Martin mengatakan, atas pencabutan Izin HGU, perusahaannya dipaksa untuk menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado. Akhirnya pada tanggal 24 November 2016, PTUN Manado telah membatalkan Surat Pejabat Bupati Bolmong dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde).
“Dengan adanya putusan PTUN Manado, Pejabat Bupati Bolaang Mongondow mengeluarkan surat No. 68/03/XII/2016 tertanggal 9 Desember 2016 yang berisi pembatalan surat pencabutan izin HGU Perusahaan yang dikeluarkan sebelumnya oleh Pejabat Bupati,” tulisnya lagi.
Martin mengungkapkan, atas dasar putusan Pengadilan PTUN Manado serta kekuatan legalitas yang lengkap dimiliki oleh Perusahaan, maka sejak 3 Maret 2017 Perusahaan kembali melaksanakan aktivitas dimulai dengan menata kembali areal pembibitan yang telah terhenti selama hampir 1 Tahun.
Dengan bermohon pengamanan ke Kapolda Sulawesi Utara dan Kapolres Bolaang Mongondow, perusahaan membersihkan pondok-pondok liar di areal HGU karena tidak sesuai dengan peruntukan lahan dan menganggu kegiatan perkebunan kelapa sebagaimanana diamanatkan dalam pemberian HGU.
Namun, ujar Martin, sangat disesalkan karena kegiatan yang dilakukan oleh pekerja masih saja mendapatkan gangguan bahkan penghadangan dari sebagian kecil masyarakat yang terjadi. Bahkan, tindakan mereka mengarah pada tindakan anarkis serta mencoreng kewibawaan hukum dan Pemerintah.
“Pada tanggal 25 Maret 2017, mereka melakukan pendudukan lahan tanpa hak, dan melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap salah seorang anggota Koramil Poigar yang sedang membantu pihak Kepolisian guna mengantisipasi pertikaian antara pekerja dengan kelompok Abner,” ungkapnya.
Martin berharap hukum yang seharusnya merupakan Panglima Tertinggi di NKRI dapat ditegakkan dengan baik di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, sehingga tidak terjadi lagi tindakan-tindakan premanisme yang menghambat investasi bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
“Terhadap pelaku penyerobotan lahan, pencurian kelapa, perusakan di areal kegiatan usaha juga harus diproses secara hukum. Jika kegiatan berinvestasi begitu mudahnya dihentikan oleh segelintir orang dengan cara-cara melanggar hukum, maka patut dipertanyakan keseriusan dan kesatuan visi dan misi dalam mendorong investasi, khususnya disektor pertanian,” tegasnya.