Jakarta – Bulan suci Ramadhan 1444 H dimanfaatkan oleh Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB) untuk mengadakan kegiatan peduli sesama yang dibalut dalam agenda Diskusi Kebangsaan sekaligus Buka Bersama dan Pemberian Santunan dengan tema “Memaknai Nilai Puasa Terhadap Kehidupan Toleransi dan Keberagaman”, di Hotel Bintang Baru, Jakarta (2/4/2023).
Diskusi kebangsaan ini dihadiri oleh narasumber lintas agama, yang menyimbolkan kerukunan antarumat beragama sekaligus rasa menjunjung tinggi Kebhinekaan. Agenda ini antara lain dihadiri oleh Lily Tjahyandari, PhD. selaku Dosen Pasca Sarjana Cultural Studies FIB UI, Jefri Gultom sebagai Ketua Umum PP.GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) dan Abdul Ghopur sebagai Direktur Eksekutif LKSB yang juga salah satu Inisiator Kedai Ide Pancasila.
Dalam diskusi ini, Abdul Ghopur selaku Direktur LKSB mengupas tentang keimanan seseorang, yang pada umumnya hanya pada bulan puasa saja kadar keimanan dan kesalehan sosial seseorang meningkat dari biasanya.
“Jawabannya yakni karena banyak diantara individu yang menjadikan Puasa Ramadhan seakan hanya “tradisi” atau “ritual tahunan” saja, bahkan dalam situasi tertentu menjadi begitu eforia tanpa pemaknaan nyata dalam hidup. Pertanyaan ini sudah lama mengusik para peneliti agama, sosiolog bahkan psikolog. Tetapi belum ada penjabar-jelasannya yang memuaskan dari sisi psikologis.” tegas dia.
Ghopur mengingatkan bahwa Ramadhan adalah bulan puasa dan bulan penuh perjuangan. Masuk dalam bulan ini, kata Ghopur, artinya masuk dalam ranah perjuangan dan ujian untuk menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya (seperti makan, minum, hubungan intim, gibah, fitnah dan sebagainya) dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari, dengan disertai niat ibadah karena Allah semata (Lillaahita’aala) seraya mengharapkan ridlo’Nya dan menyiapkan diri guna meningkatkan taqwa kepadaNya.
Ia mengingatkan agar kita tetap menjalankan ibadah fokus dan tujuan utama ibadah puasa adalah manusia yang beriman dan bertakwa (berserah-diri hanya padaNya). Antara lain dengan meneladani sifat-sifat kerasulan bahkan ketuhanan sekaligus. Tetapi, perjuangan ini bukan tradisi Islam saja.
Sebagaimana diketahui, Allah mewajibkan seluruh kaum beriman untuk menjalankan perjuangan dan puasa, sebagaimana diterangkan dalam Al-Quran, surat Al-Baqarah, ayat 183: “Wahai sekalian orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” Ini menunjukkan bahwa puasa merupakan bentuk perjuangan umat-umat sebelum Islam (dikatakan: atas orang-orang sebelum kamu). Artinya, perjuangan dalam bentuk berpuasa menjadi perjuangan universal milik semua kaum beriman.
Ghopur juga mengungkapkan pendapat para ahli mengatakan, perjuangan dalam bentuk puasa merupakan salah satu bentuk ibadat yang paling purba dan mula-mula, serta yang paling luas tersebar di kalangan umat manusia. Semua umat bertuhan selalu menyediakan ritual puasa.
“Bagaimana puasa itu dilakukan, dapat berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Bentuk puasa yang umum selalu berupa sikap menahan diri dari makan dan minum serta dari pemenuhan kebutuhan biologis bahkan dari berbicara. Menahan diri adalah usaha pertobatan yang menghantarkan manusia pada sifat kesucian (fitrah) serta sifat ketuhanan (ilahiyyah).” tandasnya.
Dengan itu, ia juga menegaskan intisari dari berpuasa, yakni bertaubat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “setiap bani Adam berbuat dosa, dan sebaik-baiknya orang yang berbuat dosa adalah yang bertaubat.”
”Sebagaimana pula kata Rasul, inti ibadah adalah taubat dan barangsiapa yang sengaja mengurangi imannya dan tidak mau bertaubat, maka benar-benar dia telah dengan sengaja membuat kemurkaan Tuhannya. Barangsiapa yang sengaja membuat kemarahan Tuhannya, maka benar-benar dia telah mengkufuri nikmatNya. Barangsiapa yang bertaubat dan memperbaiki kelakuannya, dan kembali kepada Tuhannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang, Maha Pengampun lagi Maha Dermawan” (dikutip dari HR. Bukhari).
Ibadah puasa sifatnya transendental (Allah langsung yang menerimanya), namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mengajarkan kita untuk berbuat banyak kebaikan. Diantaranya untuk saling berbagi kasih terhadap sesama (bersedekah jariyah).
Ghopur mengatakan bahwa ada perjuangan yang panjang selama bulan Ramadhan pastilah “menghabiskan” tenaga, pikiran bahkan perasaan.
“Setelah berjuang sebulan penuh, jiwa akan lelah sekaligus bahagia. Raga akan kurus sekaligus sehat. Perasaan akan tanak dan penuh sekaligus bahagia. Dengan ragam seperti itu pantaslah jiwa-raga dan rasa, membutuhkan oase dan terminal untuk berbagi.” tegasnya.
Tak lupa juga dikupas terkait makna berbagi. Makna berbagi tentunya tidak terbatas kepada saudara seiman, tetapi kepada seluruh umat bahkan alam semesta. Ternyata, nilai iabadah puasa dan nilai berbagi kasih juga memiliki makna lebih jauh yakni “berkorban perasaan” (teposeliro).
“Ibadah puasa mengajarkan untuk memupus sikap serakah (tamak) manusia. Sehingga, menciptakan sikap saling toleran dalam pelbagai bidang kehidupan. Diantaranya sikap bertoleransi terhadap saudara sebangsa yang berbeda keyakinan dan peribadatan.” ungkap dia.
Dengan narasumber lintas agama ini, membuktikan bahwa Sikap toleransi mutlak dimiliki setiap masyarakat di tengah keberagaman/kemajemukan bangsa yang terdiri dari ratusan suku/etnis dan bahasa serta budaya dan adat-istiadat. Hal ini juga beehubungan langsung dengan intisari Ramadhan, yakni artinya ibadah puasa memiliki dimensi kebangsaan selain dimensi transcendental (Ilahiyyah).
Dalam kegiatan yang antara lain dihadiri oleh eksponen Aktifis 98, Aktifis Organ Cipayung Plus, Majelis Taklim Al-Barokah Bonsay, Anak Kandung Indonesia (AKUI), aktifis pendidikan, budayawan, akademisi, kalangan professional, organisasi mahasiswa dan kepemudaan, Sangkhalifah.com. dan lainnya ini bertujuan untuk memberi pemahaman tentang makna hakiki dan nilai ibadah puasa pada relasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Termasuk juga didalamnya memberikan santunan kepada janda-janda tua, anak yatim-piatu dan anak terlantar.Sebagai bentuk rasa syukur yang membangun semangat kebersamaan dalam keragaman. Serta mempererat tali silaturrahim dan persaudaraan sesama anak bangsa.
Di bagian penutup, Abdul Ghopur menegaskan kembali hakikat Puasa Ramadhan yang pada akhirnya adalah “menugaskan” kaum beriman agar memperbaiki jiwa yang sepi dan duka serta dunia yang luka dan asing.
“Jika kaum beriman tidak mampu melakukannya, tidak ada gunanya suatu iman, tidak ada manfaatnya suatu agama, mubazirlah perjuangan dan puasa. Dengan demikian, apa yang dibutuhkan dunia sekarang adalah bukan sekadar iman, bukan hanya agama, juga bukan sekadar dogma kaku tapi belas kasih dan tindakan yang menunjukkan penghormatan pada nilai-nilai sakral seluruh mahluk hidup, siapa pun mereka, terutama yang luka-lukanya menganga. Di sini nilai ibadah Puasa Ramadhan, baru mendapatkan pemaknaannya secara substansial, bukan sekadar tradisi tahunan tetapi juga sebagai pemuas dahaga iman dan spiritual manusia.” pungkas Abdul Ghopur.