Jakarta – Tulisan opini berjudul “Etika Menuju 2024” yang ditulis Mayor Jenderal TNI Kunto Arief Wibowo selaku Panglima Kodam (Pangdam) III/Siliwangi pada tanggal 10 April 2023, yang memaparkan tentang persoalan kondisi kebangsaan, khususnya terkait dengan Pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 2024 mendatang direspons oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Demokratis.
“Kami menilai pernyataan Pangdam dalam tulisan tersebut sangat berdimensi dan bernuansa politis. Substansi tulisan tersebut sesungguhnya merupakan bentuk pernyataan politik, yang dibuat oleh prajurit militer aktif, yang tentunya berbahaya bagi kehidupan demokrasi dan supremasi politik sipil di Indonesia.” tegas Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas Imparsial, ELSAM, PBHI Nasional, HRWG, Centra Initiative, Forum de Facto, WALHI, Setara Institute, melalui siaran pers yang dirilis pada 2 Mei 2023.
Pernyataan Pangdam yang menyatakan bahwa “demi alasan pertahanan dan keamanan, TNI agaknya harus sedikit maju mengambil posisi” dalam menyikapi situasi tertentu, dinilai Koalisi Masyarakat Sipil sebagai pernyatan politik yang tidak dapat dibenarkan secara aturan hukum perundang-undangan, dalam konteks negara hukum yang demokratis.
“Sebagai prajurit TNI, tidak boleh dan tidak bisa satu pernyataan atau tulisan yang di dalamnya mengandung unsur ancaman dalam menghadapi situsi dan kondisi kebangsaan terkait kehidupan politik sipil, dalam hal ini Pemilu.” urai siaran pers tersebut.
TNI merupakan alat pertahanan negara yang bertugas menjalankan fungsi pertahanan negara, sehingga mereka– terutama dalam hal ini adalah Pangdam III/Siliwangi, tidak diperkenankan menilai kehidupan politik sipil ke depan, apalagi sembari memberikan ancaman perihal upaya memperbesar ruang bagi militer dalam politik. Langkah tersebut tentunya sangat berbahaya bagi kehidupan dan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Menurut Pasal 39 Ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, setiap prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis, sehingga dengan demikian pernyataan dan tulisan Pangdam III/Siliwangi tersebut seharusnya tidak boleh terjadi, karena telah melanggar aturan dalam UU tersebut. Larangan bagi TNI untuk berpolitik praktis, sesungguhnya merupakan upaya serius dari bangsa ini, untuk menjaga netralitas dan profesionalisme, sebagai alat pertahanan negara.
“Kami menilai, DPR, para Pemimpin Sipil, Panglima TNI dan Kasad, harus mengkoreksi kebijakan dan sikap prajurit TNI yang demikian, dalam hal ini Pangdam Siliwangi, yang menunjukkan sikap politiknya dalam ruang publik tersebut. Demi tegaknya supremasi sipil, DPR semestinya secara tegas menjalankan fungsi kontrol sipil demokratis terhadap militer, untuk memastikan tidak lagi terlibatnya militer dalam ruang politik sipil.” tulis pernyataan pers tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil juga mendorong otoritas sipil dan pimpinan TNI untuk menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah agenda reformasi TNI yang belum dijalankan, seperti restrukturisasi komando teritorial, masih banyaknya kekerasan aparat TNI, reformasi sistem peradilan militer, dan lain-lain. Penuntasan berbagai agenda tersebut penting dalam upaya membangun TNI menjadi alat pertahanan negara yang semakin profesional ke depan.
“Kami juga mendesak hal yang sama kepada seluruh jajaran dalam institusi Polri, tidak boleh pula terlibat dalam politik praktis, mengingat pada masa lalu ada dugaan kuat bahwa Polri berpolitik dan terlibat dalam memenangkan kandidat tertentu. Polri adalah alat keamanan dan pengayom mayarakat, sekaligus pelaksana fungsi penegakan hukum, sehingga meskipun bagian dari institusi sipil, Polri tetap tidak diperkenankan terlibat dalam kegiatan politik praktis. Begitu pula dengan Badan Intelijen Negara, yang harus bersikap netral dan tidak boleh berpolitik, untuk menjamin professionalisme intelijen negara.”
Terakhir, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Demokratis juga mendesak kepada pemerintah dan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), dari pusat sampai daerah, untuk selalu bersikap dan bertindak netral, serta tidak terlibat dalam tindakan politik praktis untuk pemenangan salah satu kandidat atau peserta pemilu tertentu.
“KPU dan Bawaslu harus menjalankan fungsinya secara objektif dan bertanggungjawab, akuntabel, serta harus bersikap netral sebagai penyelenggara pemilu.” tutup siaran pers tersebut.