Oleh: Ayik Heriansyah
Saya sudah lama tertarik mengamati hubungan, peran dan posisi desa dalam radikal terorisme. Kebetulan tadi bersama temen-temen S3 Sosiologi Pedesaan IPB membedah UU Desa No. 6 Tahun 2014. Tentu saja yang saya lihat aspek kontra terorisme dalam UU tersebut.
Hubungan desa dengan radikal terorisme sangat erat. DI/TII cikal bakal NII sebagai induk dari gerakan radikal terorisme di Indonesia lahir di desa Malangbong Garut. Kemudian menyebar ke daerah pedesaan di Jawa Barat bagian selatan. Radikalisme masuk kota Bandung karena dibawa oleh orang desa yang pindah ke kota. OPM di Papua berasal dari desa dan bergerak di desa-desa.
Tokoh-tokoh kelompok radikal terorisme seperti Imam Samudra, Amrozi, Aman Abdurrahman, Abu Bakar Ba’asyir, dll adalah orang-orang desa (wong ndeso).
Aksi-aksi teror banyak terjadi di kota. Aksi teror jarang terjadi di desa karena daya terornya rendah. Akan tetapi konflik-konflik skala besar yang berlatar belakang agama di Maluku dan Poso tahun 1998-2000 terjadi di desa-desa. Teror OPM sampai hari ini berbasis desa.
Desa menjadi tempat persembunyian teroris dalam rangka menyiapkan aksi maupun setelah aksi. Beberapa teroris tertangkap di desa. Mantan napiter setelah keluar dari lapas sebagian memilih pulang kampung pulang ke desa asal.
Dengan demikian secara faktual ada individu-individu radikal di pedesaan. Di samping masuk lembaga-lembaga filantropi yang berafiliasi dengan kelompok radikal dalam bentuk program dan kegiatan sosial pendidikan.
Sebagian pentolan-pentolan kelompok radikal memilih pulang kampung pasca pelarangan organisasi mereka.
Di desa-desa ada jaringan internet. Orang-orang desa bisa mengakses situs dan media sosial apapun termasuk yang mengandung konten radikalisme.
Jadi, desa-desa berpotensi menjadi epicentrum baru bagi gerakan radikal terorisme.
UU Desa telah memformalkan dan menguatkan kelembagaan desa. Otonomi desa semakin besar. Desa menjadi lebih dinamis. Dana desa dan BUMDes menjadi magnet bagi pihak-pihak yang berkepentingan bermain di desa.
Kepala Desa yang dipilih secara langsung menjadi arena persaingan sesama kelompok dan antar warga desa. Hal yang membuka potensi munculnya konflik horizontal. Dan tidak menutup kemungkinan konflik tersebut bermotif ideologi.
UU Desa No. 6 Tahun 2014 jika dilihat dari sudut pandang terorisme mengandung beberapa kelemahan, antara lain:
– Pasal 29 dan 51 tentang Larangan Kades. Pasal ini tidak secara eksplisit menyatakan Kades dan perangkat desa dilarang terlibat dalam gerakan dan organisasi radikal terorisme.
-Pasal 33 tentang Syarat Calon Kades. Dalam pasal ini juga tidak secara eksplisit menyatakan calon kades tidak boleh terlibat gerakan dan organisasi radikal terorisme.
Hanya ada satu pasal yang memuat dengan terorisme, yakni pasa 42 tentang pemberhentian sementara Kades yang jadi tersangka kasus pidana terorisme, makar dan keamanan negara. Pasal ini tidak bersifat mencegah dan menangkal, melainkan “menghukum” apabila Kades terlibat terorisme.
Pada pasal 33 tentang syarat Kades harus setia kepada Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, dan pasal 38 tentang Sumpah Jabatan Kades yang harus setia kepada Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, secara implisit dapat mencegah individu yang terpapar paham radikal-teror menjadi Kades, namun hal ini dinilai belum kuat, seharusnya dieksplisitkan.
UU Desa sekarang dalam proses revisi di DPR. Targetnya tahun ini mau disahkan. Namun karena menjelang pemilu, pengesahan akan mundur, sambil mematangkan isi UU.
Masih ada kesempatan untuk memasukkan aspek kontra terorisme di dalam rancangan UU Desa, mengingat hubungan, peran dan posisi desa dalam radikal terorisme adalah suatu kenyataan, bukan khayalan.