Palembang – Mudah-mudahan Republik ini tidak ‘terbakar”. Demikian harapan yang muncul dalam diskusi akhir pekan Titik Temu Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN) berjudul “Politik Panas di Musim Hujan” dii Kampus Universitas Sriwijaya, Palembang, pekan ini. Dalam diskusi yang dipandu oleh Sebastian Salang ini, menghadirkan pembicara Prof. Alfitri, Dekan Fisip Universitas Sriwijaya, DR Tarech Rasyid, Rektor Universitas IBA Palembang, dan Ray Rangkuti, Pengamat Politik.
Tarech menggambarkan, situasi politik Indonesia saat ini, seperti bara api. Karena itu Tarech memperkirakan, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu gelombang besar protes sebelum hasil pemilu atau sesudah pemilh. Apalagi Tarech melihat, penyelenggara pemilu juga mulai “masuk angin’. Hal ini terlihat dari data pemilih yang bocor, ditemukannya satu Kartu Keluarga berisi dua ribu nama, hingga banyaknya orang orang yang telah meninggal dunia, namanya muncul lagi di daftar pemilih tetap (DPT). Belum lagi, Tarech melihat tarik ulur tentang debat capres – cawapres, mengarah pada upaya melemahkan kekuatan KPU.
Sementara Ray Rangkuti menyatakan, bara itu muncul akibat putusan MK yang membuat kericuhan. Putusan MK meloloskan Gibran menjadi Cawapres membuat perdebatan panjang, karena telah menumbuhkan dinasti politik. “Putusan MK hanya untuk Gibran. Suasana panas juga timbul akibat dugaan adanya penggunaan fasilitas negara hingga muncul persepsi tidak netralnya Aparat TNI, Polri dan ASN. Lalu, panasnya hubungan Jokowi dengan PDI Perjuangan juga timbulkan kepanasan politik. Hal berikutnya yang bisa, memicu suasana panas, adalah munculnya gerakan gerakan sistematis untuk mendelegitimasi Presiden Jokowi. Masalah dinasti, netralitas aparat dan delegitimasi akan terus bergulir terus ke depan,” kata Ray.
Sedangkan Alfitri melihat ada semacam mobilisasi secara masif, seperti masa jelang reformasi. Namun Alfitri melihat perbedaan signifikan diantara dua peristiwa tersebut. Di mana di era sekarang ini, ada kenyamanan yang menyebabkan munculnya anomali di lingkungan kampus, hingga kalangan intelektual. Untuk mencegah bara itu membesar, Alfitri mengusulkan pengalangan kesadaran kolektif untuk memperbaiki kondisi ini. Selain harus diingatkan para penguasa untuk menahan libido kekuasaan yang mengebu-gebu. Agar pemilu lebih demokratis dan menyelamatkan Gen Z dan Milenial dari bencana demokrasi ke depan.