JAKARTA – Sudah menjadi rahasia umum, selama tiga dekade, kampus-kampus negeri menjadi tempat kaderisasi gerakan Islam transnasional. Gerakan yang berafiliasi kepada gerakan Islam di Timur Tengah. Ikhwanul Muslimin (IM) dan Hizbut Tahrir (HT) yang lebih banyak berwarnai Masjid, lembaga dakwah kampus, dan lembaga-lembaga kemahasiswaan lainnya. Jama’ah Tabligh, Syi’ah dan Salafi Wahabi, juga ada. Namun mereka minoritas.
Alumni UI dan aktivis mahasiswa FS UI Angkatan 98 Ayik Heriansyah menyebut Jama’ah Tabligh dan Salafi Wahabi membentuk kelompok kajian tersendiri, secara non formal di teras-teras masjid. Sedangkan Syi’ah, biasanya ikut ke dalam kelompok-kelompok kajian formal di luar lembaga kemahasiswaan yang dikuasai kader-kader IM dan HT.
“Mahasiswa-mahasiswa dari organisasi Islam lokal; NU, Muhammadiyah dan Persis mempunyai lembaga sendiri yang bersifat ekstra kampus. Entah mengapa, mahasiswa-mahasiswa itu kurang berminat aktif dan menguasai lembaga-lembaga kemahasiswaan intra kampus. Satu dua saja, secara pribadi ikut ke dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan intra kampus,” ungkap Ayik, hari ini.
Menurut pengurus LDK Formasi FS UI 1999-2000, kampus menjadi medan tempur antar gerakan Islam transnasional. Bukan saja di tingkat mahasiswa melainkan juga di tingkat dosen dan staf kependidikan. Setiap kelompok transnasional mempunyai orang khusus yang menjadi supervisor bagi gerakan mereka di kampus.
“Di Universitas Indonesia (UI), hegemoni mahasiswa kader-kader PKS/PK yang dulunya bernama Jama’ah Tarbiyah yang berafiliasi kepada Ikhwanul Muslimin, di lembaga dakwah kampus dan lembaga kemahasiswaan di tingkat universitas maupun fakultas sulit dipatahkan oleh kelompok lain. Hal ini karena jumlah kader mereka yang paling dibandingkan dengan kelompok lain dan mereka yang lebih dulu membangun jaringan. Ketua Lembaga dakwah fakultas dan universitas, dipastikan kader PKS. Ketua Senat Fakultas dan BEM UI, mayoritas diduduki oleh kader PKS,” paparnya.
Sementara Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, Salafi Wahabi dan Syi’ah, lanjut Anggota MPM UI 2000 – 2001 itu, boleh dikatakan tidak berkutik melawan hegemoni Ikhwanul Muslimin di UI. Dominasi Ikhawanul Muslimin satu sisi menguntungkan gerakan mereka. Mereka bisa menggunakan lembaga dan tentu saja juga dana kemahasiswaan untuk agenda rekrutmen, pembinaan dan pelatihan kader mereka.
Di sisi lain, tambah Ketua FIKI Masjid UI 2001-2002, membuat gerakan kemahasiswaan menjadi satu warna, beku dan partisan. Mahasiswa non-Ikhwanul Muslimin memilih apatis ketimbang aktif di lembaga kemahasiswaan. Mereka mengisi waktu di luar jam kuliah dengan mengerjakan tugas di perpustakaan atau rehat di kantin.
“Realitas yang bertolak belakang dengan maksud dan tujuan dibentuknya lembaga dakwah kampus dan lembaga kemahasiswaan yaitu untuk mengembangkan minat, bakat dan potensi mahasiswa tanpa diskriminasi aliran, kelompok dan gerakan,” terangnya.
Ketua HTI UI 2003 itu mengemukakan bahwa langkah dan upaya Rektor UI yang ingin mengembalikan lembaga-lembaga di kampus ke rel-nya yang benar, harus didukung, karena UI milik semua mahasiswa Indonesia. Bukan milik kelompok tertentu.
“UI milik Indonesia bukan milik Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, Salafi Wahabi dan Syi’ah. Mari Indonesia-kan kembali kampus UI,” pungkasnya.