JAKARTA – Usulan untuk dilakukan lockdown sebagai strategi menghadapi pandemi Covid-19 terus menggema.
Pengamat Intelijen Stanislaus Riyanta menyebut para pengusul terlihat latah tanpa berpikir panjang terus mendesak pemerintah untuk melakukan lockdown. Kata dia, istilah lockdown sebenarnya bukan terminologi resmi dalam pemerintahan Indonesia.
“Lockdown sebenarnya merujuk pada karantina kesehatan yang diatur oleh UU NO. 6 tahun 2018 ttg Karantina Kesehatan,” ungkap Stanislaus, dalam pesannya hari ini.
Menurutnya, untuk melakukan karantina kesehatan, maka sesuai dengan UU No. 6 tahun 2018, harus dilakukan penentuan status darurat kesehatan nasional oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini adalah Presiden kemudian diikuti dengan pembentukan satuan tugas untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi sebuah wabah penyakit.
“Dalam undang-undang tersebut karantina kesehatan terdiri dari berbagai macam, yaitu Karantina Rumah, Karantina Wilayah dan Karantina Rumah Sakit. Selain itu juga ada tindakan yang disebut Pembatasan Sosial,” jelas Stanislaus.
Dikatakannya, usulan untuk dilakukan lockdown dalam arti penguncian suatu wilayah, dengan penjagaan ketat supaya tidak ada yang keluar masuk wilayah tersebut terlalu berlebihan untuk penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Jika lockdown dilakukan maka yang terjadi adalah kekacauan yang bisa menjurus kepada konflik sosial.
Ia melanjutkan bahwa lockdown yang dilakukan di negara-negara maju seperti yang terjadi di Italia dan Arab Saudi tidak bisa serta merta ditiru untuk Indonesia.
“Masyarakat di negara maju dengan budaya disiplin yang tinggi dan kesejahteraan yang baik tidak akan terganggu kehidupan dasarnya jika dilakukan lockdown,” sebutnya.
Dijelaskannya, situasi di Indonesia berbeda dengan negara maju. Jumlah pekerja harian/informal masih dominan dibandingkan pekerja formal. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sektor informal mendominasi pekerjaan di Indonesia. Pada Februari 2019, tercatat penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor informal sebanyak 74 juta jiwa. Sementara penduduk yang bekerja di sektor formal hanya 55,3 juta jiwa.
“Jika pemerintah melakukan lockdown maka dapat dibayangkan yang terjadi adalah sebagian besar orang kehilangan pendapatan dan tidak bisa mengakses kebutuhan dasarnya,” tutur dia.
Masih kata Stanis, situasi di Indonesia saat ini budaya disiplinnya belum kuat, tingkat kesejahteraannya juga belum baik. Hal tersebut tentu akan menjadi masalah jika dilakukan lockdown. Masyarakat yang bekerja secara informal akan kehilangan pendapatan dan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Jika hal itu terjadi maka potensi terjadinya kriminalitas cukup tinggi.
“Jika ingin membatasi pergerakan orang secara ekstrim maka yang harus dilakukan adalah pemerintah menyiapkan kebutuhan dasar terutama kepada masyarakat yang bekerja di sektor informal. Tujuannya adalah supaya mereka tidak perlu beraktifitas untuk mencari pendapatan. Jika aktifitas masyarakat dikunci tanpa adanya suplai kebutuhan dasar maka bisa memicu suatu geraka perlawanan yang dampaknya bisa sistemik,” paparnya.
Dan jika lockdown dilakukan di Ibukota Negara DKI Jakarta, dampaknya juga akan sangat sistemik. Putaran uang Indonesia yang sebagian besar berada di Jakarta akan terganggu, dan tentu saja imbasnya terjadi kepada perekonomian nasional. Lockdown justru akan memperburuk sutuasi saat ini.
“Lockdown bukan strategi yang tepat saat ini, karena lockdown akan memperburuk situasi sosial masyarakat. Strategi yang tepat adalah pembatasan sosial pada tingkat tertentu sesuai karakteristik wilayah masing-masing tanpa berlawanan dengan kebijakan pemerintah pusat. Tentu saja hal tersebut dapat sukses jika ada peran serta masyarakat yang mau taat dan disiplin dalam menjalankan arahan pemerintah,” tandasnya.