JAKARTA – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menggelar Webinar bertema “Mewujudkan Pilkada 2020 yang Berkualitas dan Berintegritas di Tengah Pandemi Covid-19”, Kamis tanggal 20 Agustus 2020.
Dalam kegiatan yang dihadiri Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar dan Pengamat Politik Anwar Saragih, Sekjen DPP GMNI M. Ageng Dendy Setiawan menyampaikan bahwa Pilkada serentak 2020 kali ini berbeda dan memiliki tantangan. Terlebih, penyelenggaraannya di tengah Pandemi Covid-19.
Ageng mengingatkan agar dipersiapkan matang-matang untuk menghadapi pagelaran lima tahunan tersebut. Pertama, petugas harus safety, dan masyarakat juga.
“Jangan sampai dengan pandemi, hak masyarakat terganggu,” katanya.
Dia tidak mempermasalahkan kampanye calon Kepala Daerah itu digelar secara terbuka maupun online. Asalkan, semua visi misi calon bisa tersampaikan.
“Yang penting semua visi misi calon tersampaikan. Karena tidak semua masyarakat ada akses apabila kampanye online,” terang Ageng.
Kendati demikian, lanjutnya, pada saat proses hari H pemilu, tetap mengedepankan penerapan protokol kesehatannya. Harus dipastikan orang yang sehat atau positif covid-19 tidak kehilangan hak pilih.
“Mari junjung tinggi demokrasi, kawal pemilu sampai akhir. Kualitas demokrasi jangan sampai lemah,” sebutnya.
Selain itu, kata dia, Pengawas pemilu harus bekerja lebih optimal. Dan ia berpesan kepada GMNI seluruh Indonesia ikut turun ke lapangan menjadi pengawas Pemilu di daerahnya masing-masing.
“Kalau bisa ikut berpartisipasi kepanitiaan agar sama-sama mengawal pilkada,” sebutnya.
Sementara itu, Anwar Saragih menuturkan tuntutan reformasi adalah desentralisasi, bukan hanya pelaksanaan pemilu prosedural saja atau orang per orang. Kata dia, selama pandemi banyak kebijakan yang bersifat diskresi. Banyak kewenangan pusat dilaksanakan oleh daerah seperti bansos dan lainnya. Tidak hanya uang, tapi klaim juga seperti dana APBN dan APBD.
“Potensi petahana menggunakan penyalahgunaan dana bansos dan sebagainya karena kekuasaannya sangat besar,” sebutnya.
Dikatakannya, Petahana mulai sekarang banyak diberikan bansos oleh pemerintah pusat, tapi ada beban etis pada petahana. Pasalnya, kata dia, menjadi gimmick yang dimanfaatkan para petahana.
“Dulu penyalahgunaan pilkada biasanya antara lain ASN ingin naik jabatan pasca Pilkada, tapi sekarang sudah berubah modus pelanggarannya,” sambungnya.
Masalah lainnya, kata dia, bagaimana pengawasan Bawaslu bila ada penyalahgunaan bansos oleh petahana, juga mengakomodir keinginan rakyat saat pelaksanaan pemilu jika dilaksanakan sesuai protokol kesehatan.
“Perlunya jaminan agar masyarakat sukarela melaksanakan pemilu dan menggunakan hak pilihnya,” tuturnya.
Ditempat yang sama, Fritz Edward Siregar menjawab pertanyaan dari beberapa pihak terkait kenapa harus melaksanakan Pilkada 2020? Karena, kata dia, Pilkada mempunyai konsekuensi, menghubungkan kekuatan daerah antara desentralisasi dan sentralisasi. Dari kacamata hukum tatanegara, Indonesia ini negara sentral jika dilihat dari hubungan antar daerah. Prosesnya untuk penguatan daerah.
“Pelaksanaan pilkada sudah disetujui secara langsung, dipilih oleh rakyat. Kalau tidak mau heboh ya dipilih DPRD saja seperti dulu. Tapi tentunya kita tidak mau. Ini bagian proses pertumbuhan demokrasi,” ucapnya.
Ia melanjutkan masalah hoax dan media pun bukan masalah Indonesia saja, di negara lain juga sama. Kualitas demokrasi di Republik ini dibandingkan negara lain, posisinya justru lebih baik Indonesia.
“Pilkada 2020 mempunyai resikonya sendiri. Ada tantangan di setiap pilkada. Potensi abuse of power kepala daerah, politik uang,” ujar Fritz.
Ia menambahkan bahwa bukan cuma tugas KPU dan Bawaslu saja untuk mengajak masyarakat, melainkan semua pihak.
“Berani melapor saat ada pelanggaran. Tapi apakah kita siap untuk seperti itu? Kembali lagi ke diri kita masing-masing,” tandasnya.