Oleh Ayik Heriansyah
Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sekaligus menjadi pejuang negara Khilafah sudah lama menjadi perbincangan publik. Semua mengarah kepada aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Sebab, dari sekian kelompok pejuang Khilafah (al-Qaeda, FPI, HTI, ISIS, dan JI), anggota HTI yang paling banyak menjadi ASN. Terutama yang menjadi dosen dan staf kependidikan di perguruan tinggi negeri dan guru di sekolah-sekolah pemerintah.
Sebaran anggota HTI di birokrasi umumnya mengikuti back ground pendidikan mereka. Anggota HTI alumni IPDN menjadi ASN di Kementerian Dalam Negeri. Anggota HTI alumni IPB menjadi ASN di Kementerian Pertanian, Kehutanan, Perikanan da Kelautan. Anggota HTI alumni STAN menjadi ASN di Kementerian Keuangan. Anggota HTI alumni UIN/IAIN/STAIN menjadi ASN di Kementerian Agama.
Sebagian lagi menjadi ASN di kementerian/badan/lembaga di luar bidang pendidikannya. Misalnya anggota HTI alumni Fakultas Teknik menjadi ASN di Kementerian Hukum dan HAM.
Kebolehan anggota HTI menjadi ASN pernah ditanyakan syabab HT kepada Amir mereka. Juga sudah disinggung di dalam salah satu kitab halaqah yang berjudul Nizhamul Iqtishadi fi Islam (Sistem Ekonomi dalam Islam) yang dikarang oleh Taqiyuddin an-Nabhani. HT berpendapat, menjadi ASN terkait dengan muamalah-ijarah (pengupahan) adalah sewa/kontrak atas tenaga, jasa dan keahlian.
Sah atau tidak, halal atau haram upah/gaji (‘ujrah) yang diterima tergantung jenis pekerjaannya. Jika pekerjaan itu halal, maka ‘ijarah-nya sah dan ‘ujrahnya halal. Sebaliknya jika pekerjaan itu haram, maka ‘ijarah itu bathil dan ‘ujrahnya haram.
Pekerjaan administrasi, birokrasi dan mengajar termasuk jenis pekerjaan yang boleh (mubah/halal). Oleh karena itu, anggota HTI boleh menjadi ASN. ‘Ujrah yang diterima sebagai ASN hukumnya halal. Hanya sebatas itu penjelasan yang diberikan Amir HT terkait hukum anggota HTI menjadi ASN.
Dalam hal ini sebenarnya penjelasan Amir HT masih sangat umum. Tidak detail, bahkan kurang akurat, kurang cermat dan tidak jernih. Amir HT mencampuradukkan dua fakta yang berbeda, fakta jenis pekerjaan dan fakta status sebagai ASN, dalam satu kasus. Amir HT tidak merinci aspek syarat dan rukun dalam ‘ijarah khususnya dalam konteks ASN di Indonesia.
Amir HT menghalalkan pengikutnya menjadi ASN karena melihat satu aspek saja yakni jenis pekerjaan. Memang benar bahwa semua jenis pekerjaan administrasi dan birokrasi di NKRI adalah pekerjaan yang halal dalam rangka taat kepada Allah swt dan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat. Tidak ada satu pun pekerjaan administrasi dan birokrasi di NKRI yang mengarah kepada maksiat dan ditujukan untuk menentang Allah swt.
Akan tetapi, hukum dan nilai suatu muamalah-ijarah juga ditentukan oleh syarat dan rukunnya. Syarat menentukan keabsahan suatu akad muamalah. Rukun menentukan kesempurnaannya. Syarat menjadi hak pihak yang memperkerjakan (musta’jir) dan kewajiban bagi pihak yang bekerja (‘ajir) untuk memenuhinya.
Syarat, wajib diterima secara lahir dan batin oleh pekerja (‘ajir) sebelum pekerjaan itu dilaksanakan. Penerimaan syarat oleh pekerja (‘ajir) ditunjukkan secara lisan dan perbuatan (qaulan wa ‘amalan). Pekerjaan menjadi batal apabila di tengah jalan, pekerja (‘ajir) tidak memenuhi syarat dan atau melanggar syarat.
Anggota HTI sejatinya sudah tidak memenuhi syarat sejak mendaftar ikut tes CPNS. Karena anggota HTI adalah anggota partai politik (hizbun siyasiyun) meski partai HTI tidak terdaftar di Kementerian Dalam Negeri. Semua kegiatan HTI adalah kegiatan politik praktis untuk merebut kekuasaan.
Sedangkan salah satu syarat mendaftar ikut tes atau melamar menjadi CPNS adalah “tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik maupun terlibat politik praktis,” menurut Pasal 23 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Pada aspek ini, anggota HTI sudah tidak memenuhi syarat.
Posisi pemerintah dalam ‘ijarah dengan anggota HTI adalah sebagai pihak yang memperkerjakan (musta’jir). Pada tataran teknis administrasi dan birokrasi diwakili oleh kepala-kepala pada instansi terkait. Anggota HTI sebagai orang yang bekerja (‘ajir).
Pemerintah berhak meminta kepada anggota HTI untuk mengucapkan sumpah (qassam) sebelum diterima menjadi ASN, agar pemerintah yakin bahwa ASN yang akan direkrutnya memenuhi kriteria-kriteria dasar yang diinginkan, yang ditunjukkan di dalam isi sumpah (qassam) ASN.
Mengucapkan sumpah (qassam) ASN menjadi syarat yang harus dipenuhi anggota HTI sebelum bekerja. Isi sumpah PNS menurut UU 5 Tahun 2014 pada Pasal 66 ayat 2 sebagai berikut:
Demi Allah/Atas Nama Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah/berjanji:
Bahwa saya, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara, dan pemerintah;
Bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
Bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat pegawai negeri sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;
Bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;
Bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara.
Pada sumpah (qassam) PNS tertera kalimat: “Bahwa saya, untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara, dan pemerintah”;
Dalam sumpah (qassam) Hizb disebutkan: An akuuna hariisan lil Islam. Mutabaniyyan ara a Hizbit Tahrir hadza, wa afkarahu wa dusturahu qaulan wa ‘amalan (bahwa saya akan menjadi penjaga Islam terpercaya. Mengadopsi pendapat, pemikiran dan konstitusi Hizbut Tahrir ini dengan perkataan dan perbuatan).
HTI mempunya ideologi sendiri yang khas. Mereka memiliki rancangan konstitusi (dustur) sendiri yang akan diterapkan setelah mereka meraih kekuasaan. Mereka punya konsep negara dan pemerintahan sendiri yang bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara (NKRI), dan pemerintah (RI).
Sehingga pada saat anggota HTI mengucapkan sumpah (qassam) PNS, pada saat itu juga dia mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan sumpahnya (qassam) sebagai anggota Hizb, yaitu mengucapkan perkataan untuk setia (tsiqah) dan taat kepada sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diadopsi (tabanni oleh). Anggota HTI tersebut menggugurkan qassam Hizb yang diucapkan waktu mau menjadi anggota Hizb.
Pada sumpah (qassam) PNS ada kalimat: “Bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab”;
Metika anggota HTI mengucapkan kalimat ini, otomatis sumpah (qassam) sebagai anggota HTI jadi gugur, dan anggota HTI tersebut terang-terangan mengucapkan kalimat kufur, karena perundang-undangan yang berlaku di Indonesia semuanya buatan manusia. Hasil dari proses demokrasi.
Padahal Hizb mengharamkan UU buatan manusia dan mengkufurkan demokrasi. Hizb juga melarang mentaati segala peraturan perundang-undangan buatan manusia dalam sistem demokrasi.
Di dalam sumpah PNS ada kalimat: “Bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat pegawai negeri sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan”;
Anggota HTI otomatis melanggar isi sumpah ini ketika mereka terlibat menyerang NKRI, menyerang lembaga-lembaga negara, menyerang kebijakan pemerintah yang representasikan oleh Presiden dan pejabat negara lainnya baik di pusat maupun daerah.
Anggota HTI juga melanggar sumpah (qassam) Hizb yang berbunyi baadzlian juhdi fi tahqiqi ghayatih (mengerahkan segala daya upayaku untuk mewujudkan tujuannya). Tujuan praktis HTI adalah mendrikan Khilafah Tahririyah.
Ketika anggota HTI mendahulukan kepentingan negara (NKRI) di atas kepentingan perjuangan menegakkan Khilafah Tahririyah dan di atas kepentingan golongan (Hizb) maka gugur sumpahnya sebagai syabab Hizb.
Jadi kesimpulannya, akad ijarah antara anggota HTI dengan pemerintah tidak sah. Mulai dari pendaftaran ikut tes CPNS, anggota HTI sudah tidak memenuhi syarat akad ijarah yang ditentukan oleh pemerintah. Pada saat dilantik menjadi ASN, anggota HTI menolak isi sumpah (qassam) PNS yang disyaratkan oleh pemerintah sebagai musta’jir.
Setelah menjadi ASN, anggota HTI melanggar isi sumpah (qassam) PNS, berarti melanggar syarat yang ditentukan oleh pemerintah sehingga akad ijarah anggota HTI dengan pemerintahah batal di tengah jalan. Konsekuensinya, ‘ujrah yang diterima anggota HTI dari pemerintah diduga kuat, menjadi haram karena menerima ‘ujrah dari muamalah yang batal.
Terakhir, posisi anggota HTI yang tetap menjadi ASN sebenarnya melanggar dua sumpah (qassam) sekaligus yaitu sumpah PNS dan qassam Hizb. Wallahu a’lam bi shawab.