Penyebaran radikalisme sudah semakin meluas di Indonesia. Bahkan kini jaringan tersebut menyusup ke kalangan birokrasi, terutama Aparatur Sipil Negara (ASN). Itulah yang dikhawatirkan sejumlah pihak, karena jika pegawai negeri sudah didoktrin pemahaman radikal, maka tidak butuh waktu lama akan menimbulkan konflik berkepanjangan. Masuknya pemahaman radikal ke ASN pun tidak dapat dianalisa secara mudah, karena kelompok radikalisme ini berkamuflase di tengah masyarakat.
Pemerhati Radikalisme, Gus Soleh Marzuki, mengatakan bahwa sulit membuktikan seseorang terindikasi doktrin radikalisme. Karena konsepsi paham radikal ini berhubungan erat dengan ideologi yang susah terlihat, dibanding tampilan. ASN yang berpikiran radikal pun kini dapat menyamarkan tampilan fisiknya agar tidak dicurigai sebagai bagian jaringan radikalisme. “Sekarang kan jika menilai orang terdoktrin radikalisme susah. Konsep radikalisme inikan mempengaruhi ideologi seseorang, didalam pola pikirnya. Tidak hanya bagi orang umum saja, tetapi bagi ASN pun juga,” ujar Gus Soleh saat menjadi narasumber talkshow Bincang Velox bertajuk “Ancaman Radikalisme Di Lingkar ASN,” di Jakarta.
Menurut Gus Soleh jaringan radikal di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yakni kelompok dakwah, kelompok politik dan kelompok jihadis. Tentu masyarakat dapat dengan mudah mengkategorikan kelompok jihadis karena mereka terus melakukan teror fisik, seperti bom bunuh diri, penyerangan ke polisi ataupun ke tokoh publik. Namun untuk melihat kelompok dakwah maupun kelompok politik terasa akan lebih sulit, karena mereka tidak secara terbuka menunjukkan identitas mereka. Bahkan mereka berupaya menyamarkan diri mereka agar dapat diterima di masyarakat.
“Kelompok jihadis itu kan kelompok yang suka teror. Yang sulit itu menganalisa kelompok dakwah dan kelompok politik. Mereka itu berkamuflase sehingga dapat diterima masyarakat,” katanya.
Lanjut Gus Soleh, kelompok radikal ini sudah sangat mengakar di lingkungan masyarakat, termasuk di lingkar ASN. Bahkan didalam birokrasi, jaringan mereka ini diduga sudah masuk ke dalam jabatan-jabatan strategis. Inilah yang menyebabkan banyaknya Perda-Perda yang menguntungkan jaringan mereka. Tidak jarang, aturan ini tumpang tindih dengan aturan yang lain. “Yang bahaya kan kalau mereka membuat sejumlah aturan yang hanya mengutungkan kelompok mereka. Makanya saat Presiden Jokowi meminta adanya penyederhanaan Perda, mereka kalang kabut,” lanjutnya.
Untuk itu, Gus Soleh meminta proses penyeleksian ASN diperketat, serta meningkatkan pemahaman nasionalisme. Hal itu agar birokrasi tidak disusupi oleh jaringan radikal, terutama di tubuh TNI dan Polri. Sebab jika mereka masuk ke internal petugas keamanan, dikhawatirkan akan memperburuk situasi Negara. Disamping itu peran para ulama, tokoh agama dan Pemerintah agar pemahaman sesat ini. Untuk itu, perlu meningkatkan peran ulama, tokoh agama serta Pemerintah, untuk bersinergi memberikan pemahaman kepada masyarakat, terutama ASN, agar tidak mudah terprovokasi oleh doktrin-doktirn kelompok radikal.