Jakarta – Penyikapan terhadap Omnibus Law kluster Undang-Undang Cipta Kerja masih belum padu, sehingga proses judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) diharap memberi jalan keluar terbaik demi keadilan bagi para pekerja dan semua masyarakat.
Hal ini disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban dalam diskusi webinar yang dihelat Indonesian Public Institute (IPI) dengan Tema: “Pro Kontra Omnibus Law, Kepentingan Siapa?” Jumat, 16 Oktober 2020.
Diskusi itu diawali pra-kata oleh Direktur Eksekutif IPI Karyono Wibowo, kemudian paparan materi empat pembicara, yakni Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban, Wakil Ketua Komisi Tetap Pembiayaan Infrastruktur Bidang Konstruksi & Infrastruktur KADIN/Kabid Fiskal Perbankan & Asuransi SOKSI, Irvan Rahardjo, Pengamat Sosial Politik, Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta, Aktivis Mahasiswa, Abdi Maulana, dan moderator diskusi Puspita Ayu Putri.
Elly menegaskan, sebenarnya KSBSI sudah tegas menolak Omnibus Law UU Ciptaker, namun dengan cara-cara yang baik. Bahkan ketika sudah disahkan menjadi UU, ada tuntutan agar Presiden Jokowi keluarkan Perrpu untuk membatalkannya.
“Saat ini pun, kita para buruh sudah siapkan materi Judicial Review ke MK. Itu kita lakukan karena banyak kepentingan kami tidak diakomodir dalam UU Cipta Kerja itu,” jelas Elly.
Hanya saja, Elly tidak menampik, dalam aksi demo buruh tolak Omnibus Law, ada yang mencuri panggung, dan ingin dikenal di depan oleh masyarakat.
Padahal kalau memang tulus menolak, jelas Elly, maka mestinya fokus pada apa yang menjadi penolakan itu. Sedangkan tujuan serikat pekerja menolak Omnibus Law adalah agar nasib buruh benar-benar diperhatikan dan harkat martabat buruh di Indonesia bisa diangkat.
“Demonstrasi kami para buruh tidak sampai mendesak pak Jokowi mundur. Saya menjamin, demo dari para buruh tidak sampai melakukan pengrusakan, penjarahan, pembakaran. Kami garansi tak ada bagian kami melakukan itu. Bahkan kami tak ada menyampaikan statemen yang provokatif,” tegas Elli.
Sementara itu, Wakil Ketua Komtap Pembiayaan Infrastruktur Bidang Konstruksi dan Infrastruktur KADIN, yang juga Kepala Bidang Fiskal Perbankan dan Asuransi SOKSI, Irvan Rahardjo, memaparkan UU Cipta Kerja sejatinya sangat baik, yakni memperkuat sektor Usaha Mikro Kecil dan Menangah (UMKM), mempermudah investasi untuk penciptaan lapangan kerja.
Keberpihakan pada UMKM ini, jelas Irvan, tentu penting dan strategis, karena sektor ini vital bagi kemajuan ekonomi Indonesia. Pada 2018, sektor UMKM menyumbang Rp8.573,9 Triliun terhadap total PDB yang besarnya Rp14.838,3 triliun, sehingga kontribusi UMKM terhadap PDB Indonesia mencapai 57,8%.
“Kontribusi UMKM memang besar namun dari sisi nilai tambah masih rendah terhadap PDB secara keseluruhan,” jelas Irvan.
Ia mengingatkan, peranan UMKM terhadap perekonomian nasional sangat besar. Diantaranya peranan terhadap jumlah unit usaha mencapai 99.9%, peranan terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai 97%, dan peranan terhadap PDB mencapai 61%.
Selain itu, sambung Irvan, data menunjukkan tenaga kerja Indonesia didominasi pada sektor mikro dengan jumlah 107.3 juta orang, setara dengan 89%. Sisanya mengisi sektor kecil menengah, dan usaha besar dengan total 13.1 juta orang.
Bahkan, tegas Irvan, salah satu inti UU Cipta Kerja, adalah pengaturan yang membuka selebar-lebarnya akeses pasar dan tempat usaha, sehingga potensi tumbuh UMKM semakin besar.
“Hal ini terlihat dalam Pasal 97 dan 104 UU Cipta Kerja, dimana pemerintah memberikan peluang bagi para pelaku Usah Mikro dan Kecil (UMK) dengan memberikan porsi paling sedikit 40% dari hasil produk dalam negeri untuk pengadaan barang/jasa pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sesuai ketentuan perundang-undangan,” jelasnya.
Lebih dari itu, Irvan menyebut UU Cipta Kerja memberikan beragam Akses Pembiayaan bagi UMKM, sebagaimana diatur dalam pasal 102 UU Cipta Kerja dimana pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dunia usaha membantu memberikan pendampingan kepada UMKM untuk berkembang melalui akses-akses pembiayaan.
Tak kalah penting, Irvan menyebut UU Cipta Kerja juga memberikan peluang bagi usaha Syariah. Siapa pun yang memegang prinsip syariah dan dengan berkoperasi akan mendapat peluang berusaha, karena pendirian koperasi jadi lebih mudah dan adanya kepastian hukum untuk koperasi syariah. Apalagi berdasarkan data pada awal 2020, Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah dan Koppontren memiliki total aset hingga Rp6,6 triliun.
“Ini tentunya kabar baik. Koperasi dengan Prinsip Syariah sekarang sudah dijamin dalam UU Cipta Kerja. Pendirian koperasi dengan prinsip syariah sudah mudah dengan adanya Pasal 86 UU Cipta Kerja yang menambahkan Pasal 44A dalam UU Perkoperasian,” jelasnya.
Secara rinci, Irvan menyebut 6 (enam) poin peran UU Cipta Kerja bagi Koperasi dan UMKM. Yakni meningkatkan penyerapan tenaga kerja; Menjadikan koperasi sebagai lemabaga ekonomi pilihan masyarakat; Memperkuat posisi UMKM dalan ranah pasok; Akselerasi Digitalisasi KUMKM; memberikan pembiayaan yang mudah dan murah bagi UKM; dan memberi prioritas pasar bagi produk UMKM.
Sementara itu, dari sisi politik dan intelijen, Stanislaus Riyanto menyayangkan aksi unjuk rasa para buruh dan mahasiswa yang sejatinya dijamin undang-undang, justru diwarnai kekerasan ataupun serangan terhadap aparat keamanan dan perusakan fasilitas umum.
Stanislaus menduga, terjadinya kekerasan dan serangan terhadap aparat keamanan dan perusakan fasilitas umum terlihat sudah direncankan. Hal itu terbukti dari temuan adanya orang-orang yang menyusup dalam kelompok buruh dan mahasiswa dengan membawa peralatan seperti besi panjang, batu, bahkan molotov.
“Alat-alat tersebut dibawa tentu saja bukan untuk mendukung penolakan UU Cipta Kerja tetapi untuk menciptakan kondisi kacau dan rusuh, dan mengarah kepada delegitimasi pemerintah,” jelasnya.
Stanislaus menyebut ada tiga kelompok dalam unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang terjadi di berbagai kota di Indonesia.
Kelompok pertama adalah mahasiswa dan buruh yang tujuan utamanya murni mengkritisi UU Cipta Kerja.
“Kelompok pertama ini sangat jelas identitasnya, tempat kerjanya jelas, kampusnya jelas. Mereka menggunakan hak menyampaikan pendapat yang dilindungi Undang-Undang,” kata Stanislaus.
Kemudian kelompok kedua, adalah para pengikut, pengejar eksistensi, korban propaganda hoaks di media sosial. Kelompok ini didominasi oleh remaja-remaja yang nyaris sebagian besar tidak paham konten UU Cipta Kerja.
“Kelompok kedua ini mudah diprovokasi untuk menyerang aparat,” lanjutnya.
Adapun kelompok ketiga, Stanislaus menyebut mereka sebagai para penumpang gelap, menumpang isu penolakan UU Cipta Kerja untuk kepentingannya sendiri/kelompok.
“Ciri khas dari kelompok ini dapat dilihat dari aksi dan narasinya,” jelas Stanislaus.
Ia memaparkan, aksi yang dilakukan kelompok jenis ketiga ini menjurus pada kekerasan dan perusakan dilakukan oleh kelompok anarko.
Srdangkan narasi yang disampaikan melenceng dari UU Cipta Kerja, misalnya narasi lengserkan Presiden atau sentimen terhadap etnis tertentu, dilakukan oleh kelompok politis dan ideologis.
“Bukti dari adanya kelompok ketiga ini adalah adanya penangkapan oleh Polri terhadap para pelaku, yang bukan berasal dari komponen buruh dan mahasiswa,” jelas Stanislaus.
Terakhir, ia menilai pengesahan UU Cipta Kerja telah dikapitalisasi dan dijadikan kesempatan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk membuat kekacauan, kerusuhan, bahkan mengadu domba antara masyarakat dengan aparat.
“Polri harus bertindak tegas dengan melakukan proses hukum terhadap siapapub juga yang terbukti melakukan provokasi, menyebar hoax, sehingga mangakibatkan unjur rasa menjadi rusuh dan berdampak negatif,” jelas Stanislaus.